PART 26

4.3K 869 68
                                    

PART 26

Setelah mengikuti berbagai prosedur, Bintang dan Baskara akhirnya memasuki studio sambil bergandengan tangan di antara penonton lain yang masuk. Mereka duduk di tempat masing-masing dan Bintang terus-terusan melirik ke bagian depan untuk memastikan kedatangan Euginia.

"Nggak usah nyari. Nanti muncul sendiri."

Bintang menoleh dan melihat raut wajah Baskara yang tak seperti biasanya. "Apanya?"

"Orangnya." Baskara menatapnya. "Lo nunggu dia, kan?"

"Heh?" Bintang menatap Baskara lamat-lamat. Baskara jadi aneh sejak memasuki tempat ini. Di antara keributan yang terjadi, diam-diam Bintang menarik pipi Baskara hingga memerah.

Baskara tidak protes. Dia hanya menatap Bintang tanpa kata. Bintang menarik tangannya dari pipi Baskara, memalingkan wajah, lalu berdeham salah tingkah.

"Wah, cantik banget." Ucapan beberapa orang yang penuh kekaguman itu membuat Bintang segera mengarahkan pandangan ke depan dan melihat para aktris dan aktor film memasuki studio sambil menyapa penonton.

"Eeey, katanya suaminya datang, loh. Yang mana, sih? Nggak kelihatan tahu," bisik seseorang yang didengar Bintang.

"Eh, Euginia udah punya suami?" Bintang menoleh pada Baskara.

"Nggak tahu," balas Baskara sambil menatap orang-orang di bawah sana yang mulai bicara.

"Nanti gue bakalan cari tahu! Nggak nyangka secantik itu," bisik Bintang dengan semangat.

"Nggak usah cari tahu dia," balas Baskara.

"Kalau gue lahir kembali sebagai cowok, gue bakalan nikahin dia." Bibir Bintang segera ditutup oleh Baskara agar berhenti bicara. Bintang menoleh heran dan kesal pada respons Baskara yang menyebalkan.

Baskara lalu menarik tangannya dari mulut Bintang dan mencari tangan Bintang, lalu menggenggamnya di atas kursi. "Nggak boleh. Lo punya gue."

Bintang tak mengatakan apa-apa lagi karena pikirannya sedang kosong.

***

Sejujurnya, Baskara tidak ingin mengajak Bintang ke tempat itu karena salah satu aktris film tersebut adalah Euginia. Baskara memang mengajak Bintang untuk membawanya kencan lebih cepat karena Baskara pikir itu lebih baik dibanding menunda hingga besok. Baskara tak menyangka ada wajah bahagia terpancar pada Bintang ketika melihat wajah Euginia dalam billboard. Baskara terpaksa memakai tiket pemberian ibunya hanya demi Bintang.

Bintang tak menginginkan tanda tangan. Dia hanya ingin melihat Euginia dari dekat meski tak menyapa.

Setelah makan malam, Bintang hanya menurut ke mana pun Baskara membawanya pergi. Perjalanan malam itu terasa panjang karena Baskara lebih banyak diam. Itu hal wajar mengingat bagaimana sifat asli cowok itu. Bintang juga sedang kehabisan kata.

Meskipun tak ada suara yang keluar di antara mereka, hanya ada suara mesin, tetapi tangan mereka saling menggenggam di tengah.

Baskara menyetir dengan satu tangan selama beberapa saat dan kembali menyetir dengan kedua tangan jika genggaman mereka saling lepas. Itu tak akan berlangsung lama karena Baskara akan menarik tangan Bintang tanpa mengucap kata, lalu menggenggamnya untuk waktu beberapa detik hingga menit.

Bintang tahu Baskara membutuhkannya sesuai perjanjian di antara mereka. Genggaman itu hanyalah sebatas pengobatan dosis rendah seperti kesepakatan. Tak ada arti lain.

Bintang juga tahu rencana kencan Baskara kenyataannya hanya untuk mendapatkan dosis rendah yang lebih sering. Tanpa persetujuan Bintang, Bintang mengartikan semua ini sudah pasti tak ada kaitannya dengan kencan nyata.

Namun, bagaimana pun Bintang menegaskan kebenaran itu dalam hatinya, tetapi ada kegelisahan yang dia rasakan. Degup jantung dengan irama yang tak normal itu selalu muncul ketika mereka bergandengan dalam suasana hening.

"Gue mau tanya sesuatu." Tiba-tiba Baskara mengakhiri keheningan itu. Pertanyaan yang membuat Bintang mulai merasa tak nyaman.

"Apa?"

"Lo suka hal-hal romantis?

"E—nggak."

"Kenapa?"

"Menggelikan."

Cukup satu kata itu. Baskara tak lagi bicara. Perjalanan terus berlanjut dan Bintang sadar Baskara memutar arah, tetapi Bintang tak mengatakan apa pun meski heran.

Hingga akhirnya Bintang menyadari jalan yang mereka lalui sekarang tak asing dan selalu dia lewati. Baskara mengantar Bintang pulang ke rumahnya.

"Katanya barang-barang lo udah dibawa pulang sama Mae dan yang lain ke rumah lo. Jadi, gue tinggal anterin lo balik." Baskara menghentikan mobilnya di depan rumah Bintang.

"Ah, iya. Thanks." Bintang siap-siap keluar dari mobil, tetapi tiba-tiba saja Baskara menggenggam tangannya lagi. Alhasil, Bintang mengurungkan niatnya untuk keluar. Pintu mobil yang sempat dia buka kini dia tutup kembali.

"Lo bilang nggak suka hal romantis," kata Baskara. "Syukurlah, gue nanya dulu sebelum bertindak."

Bintang menyerongkan tubuh untuk menatap Baskara. Apa yang ada di pikiran cowok itu sekarang? Tutur kata Baskara tak seperti biasanya sehingga membuat Bintang merasakan kegelisahan itu lagi.

"Bintang, gue pengin lo jadi pacar gue."

Bintang bungkam. Ditatapnya sorot mata Baskara dalam ruang yang sedikit gelap itu.

Baskara tidak serius. Satu-satunya hal yang Bintang pikirkan sekarang adalah Baskara hanya ingin dekat dengannya karena ingin berobat. Tak lebih.

"Lo nembak gue buat manfaatin gue? Biar kalau kita pacaran, lo mau meluk gue kapan pun lo nggak perlu izin gue? Gitu?"

Bintang tak pernah pacaran. Tak tahu bagaimana dan apa tujuan pacaran itu. Dia hanya mendengar bahwa dalam pacaran, pelukan dan berpegangan tangan adalah hal yang sudah biasa.

Tak ada kata-kata yang Baskara ucapkan. Diamnya Baskara dianggap Bintang sebagai jawaban iya.

Mereka belum lama saling kenal sejak pertemuan pertama mereka di hari pertama Bintang ada di sekolah ini, bagaimana mungkin Baskara menembaknya dengan serius?

Ya, apa yang dia harapkan dari cowok di depannya ini?

Hanya orang aneh dan menyebalkan.

"Nggak perlu pacaran. Nggak perlu manfatin gue sampai ke tahap sana. Gue bakalan tetap ikuti perjanjian itu." Karena sebelum kebenaran tentang mesin waktu terungkap, Bintang akan mengikuti perjanjian di antara mereka dengan sukarela.

Bintang menatap rumah Shareen sambil menarik tangannya dari genggaman Baskara. "Gue pulang dulu, ya. Kak Shareen pasti nungguin."

Setelah mengatakan itu, Bintang keluar dari mobil dan tak menoleh lagi.

Baskara masih diam seribu bahasa dan memikirkan apa yang dia lakukan hari ini. Tatapan Bintang, intonasi bicaranya, semua Baskara perhatikan lebih dari biasanya.

Kepergian Bintang membuat Baskara merasakan kehilangan yang mendalam. Padahal, cewek itu hanya memasuki rumahnya.

Tak ke mana-mana.

Tak pergi jauh.

Atau pun menghilang tanpa jejak.

Akan tetapi, denyut kesakitan di jantung Baskara sangat terasa. Seolah hilangnya Bintang di balik pintu rumah itu adalah hal yang membuatnya tak akan bisa melihat Bintang lagi. Di hari esok dan seterusnya.

Baskara mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Yoga yang masuk setengah jam lalu.

Yoga: lo udah sampai mana? persiapannya udah selesai

Baskara: gue nggak jadi ke sana.

Malam itu, menjadi malam terakhir Bintang dan Baskara bertemu.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang