Anaphalis javanica

581 120 8
                                    

Pemakaman umum yang terletak di Kota Semarang itu terlihat terawat dan rapi. Kompleks pemakaman yang mirip taman itu membuat orang betah berlama-lama di sini walaupun tahu jika itu makam. Tempat tersebut memang bersih dan rindang sehingga tampak nyaman.

Pukul 16.00 WIB, Na Ra dan Janu sampai di kompleks pemakaman. Mereka memutuskan pergi ke makam pada sore harinya agar tidak terlalu panas.

Na Ra tersenyum tipis menatap makam sang ibunda. Enam belas tahun berlalu, namun sakitnya ditinggal masih begitu terasa. Bahkan Na Ra ingat, dirinya histeris saat sang ibunda dimasukkan ke dalam liang lahat. Na Ra juga mengurung dirinya selama berhari-hari di dalam kamar. Kehilangan orang yang paling dicintainya terasa seperti kehilangan separuh nyawanya.

Sejak awal datang sampai sekarang, tak ada yang membuka obrolan. Bagi Janu ini adalah kali ketiga dirinya ikut Na Ra berziarah. Seperti sudah terbiasa, Janu tak membuka obrolan sebelum Na Ra memulainya. Ia membiarkan gadis itu melepas rindu dan mengeluarkan emosinya di hadapan makam sang ibunda.

Na Ra lantas berdoa dan diikuti oleh Janu. Mereka berdoa sendiri-sendiri. Setelah berdoa, Na Ra menaburkan bunga di atas pusara sang ibunda.

"Eomeoni." Na Ra memberi jeda sejenak.

"Neomu bogosipeo, jinjja," lanjut gadis itu dengan tersenyum kecil. (Saya rindu, sungguh)

"Eomeoni, tahun ini kita akan merayakan lebaran sendiri, seperti biasa. Na Ra sudah bisa memasak opor dengan enak berkat bantuan mama Ina."

Janu yang mendengar nama sang mama disebut langsung menatap Na Ra yang masih asik bercerita.

"Aku belajar memasak biar tidak diejek Janu. Laki-laki itu sungguh menyebalkan," sambung Na Ra yang membuat Janu sedikit kaget dan tersenyum kecil.

"Eomeoni, aku berharap suatu saat nanti, keluarga kita kembali harmonis. Kita dapat bersama-sama mengunjungi eomeoni dan berdoa bersama. Walaupun Tuhan kita berbeda, tapi Na Ra sungguh ingin kita bisa berdoa bersama, mendoakan eomeoni. Terima kasih sudah mengajarkan banyak hal kepada Na Ra. Sudah mengajarkan kasih dan cinta yang begitu tulus. Berbahagialah di sisi Tuhan. Surga ada untuk eomeoni. Karena eomeoni, Na Ra akan selalu bahagia di sini. Na Ra akan kembali lagi ke sini dan bercerita hingga nanti kita bisa bertemu."

Janu hanya mampu terdiam di samping Na Ra. Bahkan saat gadis itu menangis di hadapan pusara sang ibunda. Na Ra memang selalu menangis jika pergi berziarah ke makam sang ibunda. Bukan tak ikhlas, namun setiap kali datang dan bercerita, Na Ra seperti pulang ke rumah yang sudah lama ia idamkan. Air matanya pun tak bisa ia bendung. Ia menangis tanpa bisa dikontrol. Namun setelah itu, Na Ra begitu lega.

Janu masih menunggu Na Ra hingga setengah jam lamanya. Terhitung mereka sudah di makam selama satu jam dan sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.

"Ayo, Jan," ajak Na Ra pelan sembari berdiri. Janu pun mengikuti saja.

Saat mereka berjalan meninggalkan pemakaman. Na Ra masih sibuk dengan pikirannya sendiri sedangkan Janu hanya mampu menatap punggung mungil yang menunduk itu.

"Aku cengeng banget ya, Jan?" Tiba-tiba Na Ra bertanya sesaat mereka berada di dalam mobil.

"Nggak. Aku pasti akan sedih jika berada di posisimu. Walaupun kita sudah ikhlas, tapi ada rasa kehilangan yang luar biasa di sana. Menangislah jika ingin menangis karena setelah menangis, berjanjilah untuk kembali tersenyum," jawabnya langsung.

Na Ra menatap Janu dengan mata sembab. "Aku lega. Tapi mukaku jelek banget habis nangis."

Janu menatap Na Ra dengan seksama. Wajah gadis itu terlihat sembab. Hidung Na Ra memerah dengan mata yang semakin sipit. Tak ayal Janu hanya terkekeh singkat.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now