Hibiscus sabdariffa

479 95 19
                                    

Malam harinya, tante Inaya benar-benar kembali menjenguk Na Ra. Bukan hanya tante Inaya saja, tetapi beserta sang suami juga ikut bersama.

Bibi Risti tersenyum melihat Na Ra yang begitu dipedulikan oleh tante Inaya. Mulai dari makan dan minum, tante Inaya-lah yang membantu gadis itu. Mereka seperti seorang ibu dan anak.

Sementara itu, om Arief yang sebelumnya duduk di sofa bersama dengan ayah Na Ra, kini berdiri dan mendekat arah Na Ra. Sebelumnya, Ayah Na Ra sempat bingung karena ada banyak orang yang datang bersama tante Inaya dan om Arief. Namun setelah dijelaskan oleh bibi Risti, pria itu akhirnya paham. Bibi Risti pun awalnya kaget dengan kedatangan ayah Janu itu. Tetapi langsung paham bahwa memang mereka adalah pejabat di negara ini. Dan mengenai bibi Risti yang familiar dengan mama Janu kini pun terjawab sudah.

"Kamu kenapa nggak bilang ke kami Ra kalau sakit? Tau-tau besok udah mau kemoterapi."

Na Ra tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari om Arief. Gadis itu hanya bisa tersenyum setiap kali diajukan pertanyaan seperti itu.

"Na Ra juga baru sadar kalau sakit, Om. Rasanya masih nggak percaya dikasih sakit ini," jujurnya. Memang Na Ra masih tak percaya akan mengalami sakit ini.

"Janu juga belum tahu?" tanya om Arief kembali.

Na Ra tak menjawab dan membuat tante Inaya menatap sang suami. Tante Inaya memberikan kode agar tak bertanya lebih jauh lagi. Namun dasarnya om Arief adalah orang yang gampang penasaran, membuat pria itu kembali berbicara.

"Padahal om udah cerita kalau mau punya mantu, Ra." Tante Inaya langsung menatap sang suami dengan mata sedikit melotot. Bisa-bisanya sang suami berkata demikian.

"Oh ya Pak Kim, nanti ada resepsi juga di Korea, 'kan?" Om Arief kini bertanya pada ayah Na Ra. Pria itu sedikit kaget dengan pertanyaan ayah Janu yang memang suka langsung berbicara pada intinya.

"Masss," panggil tante Inaya dengan menekankan katanya karena merasa jika sang suami sudah berada di luar topik yang seharusnya tak dibicarakan. Tante Inaya sampai kembali melotot karena sang suami yang dianggap terlalu jauh.

"Mas, kita fokus dulu sama kesembuhan Na Ra."

Om Arief justru tersenyum dan menatap Na Ra yang terdiam di tempatnya. Kemudian tangannya menyentuh pelan pundak Na Ra.

"Om percaya kamu bisa sembuh total. Kuncinya kamu mengikuti semua prosedur dan harus bisa mengelola stres dengan baik. Kamu harus punya sugesti positif untuk melawan penyakitmu."

"Om punya teman militer yang diagnosa kanker otak stadium 2. Waktu itu peralatan masih minim sehingga harapan hidup menjadi rendah juga. Tapi kamu tahu apa yang dilakukan teman om itu? Beliau tetap optimis untuk sembuh. Beliau selalu bersugesti setiap hari jika penyakitnya akan sembuh. Selain itu, beliau juga mengikuti semua prosedur dokter dan mengelola stres dengan baik. Pikiran negatif tetap ada, tetapi berhasil cegah dengan baik. Setiap hari beliau termotivasi untuk bisa kembali sehat. Beliau punya motivasi bahwa ia harus bertahan untuk melihat anak-anaknya sukses. Lewat doa dan usaha, teman om tersebut bisa sembuh total. Memang nggak mudah menjalani semua pengobatan, tetapi pasti ada hasil manis di akhir untuk usaha yang berdarah-darah itu."

"Ini sama seperti halnya ikhtiar dan doa. Dulu setiap om bertugas di daerah rawan, om selalu berdoa agar diberikan keselamatan. Selain itu, om juga berusaha menjaga diri om dan prajurit om agar senantiasa selamat dan aman. Setiap hari kita buat strategi yang efektif agar kita tetap aman dan musuh bisa kita lumpuhkan. Memang sangat sulit, tapi jika ada usaha dan doa, tentu nggak ada yang nggak mungkin."

Om Arief kembali tersenyum menatap Na Ra. Gadis itu itu pun ikut tersenyum haru. Rasanya ia kembali mendapatkan booster untuk kesembuhannya. Walaupun disampaikan dengan suara dan bahasa yang lumayan kaku, tetapi Na Ra merasa pesan tersebut langsung sampai di hatinya.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now