Cyclamen

629 119 16
                                    

Meli menunggu Na Ra tenang terlebih dahulu. Tak pernah ia melihat Na Ra menangis seperti itu. Hari ini, Na Ra menangis begitu pilu. Matanya membengkak dan mengambil napas pun tersengal-sengal. Meli hanya bisa memeluk dan menepuk punggung Na Ra supaya gadis itu tenang.

Setelah lumayan tenang, Meli beranjak untuk mengambil air putih untuk Na Ra. Gadis itu menerima dan meminum air tersebut.

"Lo tenang dulu, oke? Ambil napas pelan-pelan baru bicara."

Na Ra mengikuti intruksi Meli. Gadis itu mengambil napas dengan pelan-pelan dan berusaha menenangkan dirinya.

Meli hanya bisa melakukan hal itu. Ia sungguh kecewa, tetapi rasa sedihnya jauh lebih mendominasi.

"Ma--af, Mel." Kata pertama yang diucapkan Na Ra adalah permintaan maaf setelah menangis hebat.

Meli langsung mengangguk. "Nggak apa-apa, Ra. Gue paham banget posisi lo sekarang. Gue kecewa, tapi nggak bisa. Gue ikut ngerasa sakit sekarang. Kenapa harus lo?" Meli mengeluarkan keresahannya.

"Janu," lirih Na Ra dengan menyerahkan gawainya kepada Meli. Dengan cepat Meli membaca pesan dari Janu.

Meli seketika merasakan apa yang dirasa oleh Na Ra.  Apalagi isi pesan tersebut adalah Janu pamit kepada Na Ra. Maka tak heran Na Ra menangis pilu tadi. Gadis itu pasti merasa amat bersalah sekaligus sedih karena tak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Janu bakal pulang dengan selamat kok. Lo jangan nyalahin diri, Ra. Janu bakal baik-baik aja dalam tugasnya. Lo harus berdoa supaya Janu cepet balik dan kalian bertemu lagi."

Meli mengusap air mata Na Ra. "Don't cry, babe. Lo jelek kalau nangis." Meli berusaha menghibur Na Ra.

Selanjutnya, Na Ra memilih menenangkan diri dan memberikan sugesti positif terhadap pikirannya yang kalut serta negatif. Dengan sabar, Meli memberikan kata-kata penyemangat.

"Habis ini lo berobat, ya? Kemoterapi. Kalau perlu berobat ke Jerman atau nggak Singapura biar ditangani cepet," ucap Meli kemudian.

Na Ra justru menggeleng. "Aku udah atur jadwal berobat Januari besok dan pemulihan di sini. Aku nggak bisa ninggalin kerjaan. Ada banyak karyawan yang gantungin nasib ke aku, Mel. Aku bingung banget. Nggak mungkin aku tinggal begitu aja dan nggak mungkin asal limpahin kerjaan ke orang lain."

"Noo! Lo harus berobat sekarang. Lo udah stadium berapa?"

"Menginjak dua dan nggak ada harapan sembuh rasanya."

"Ra, jangan gitu! Makanya segera berobat biar nggak semakin parah. Lo masih punya kesempatan hidup yang panjang. Jangan putus asa. Gue bakal selalu ada di samping lo."

Na Ra hanya terdiam mendengar nasihat Meli. Ia tak tahu kepada siapa harus berbagi dan akhirnya ia membuat Meli kembali direpotkan olehnya.

"Kita harus optimis kalau lo bakal sembuh total. Harus yakin dan percaya!" Meli kembali memberikan semangat kepada sang sahabat. Ia yakin Na Ra bisa pulih seperti sedia kala.

"Tapi, Mel, ini bukan penyakit demam, ini leukimia. Aku nggak mau berharap banyak. Harapan hidupku nggak panjang."

Meli menggeleng keras. Ia tak akan menjudge Na Ra dengan cepat kali ini. Pasti jika ia diposisi Na Ra juga akan begini. Merasa pesimis dan seperti hendak mati besok. Namun ini pentingnya peran sahabat. Ia harus bisa memberikan kekuatan supaya sang sahabat bisa semangat untuk sembuh.

"Percaya sama Tuhan dan diri lo kalau lo bisa sembuh. Makanya ayo berobat segera. Pilih pengobatan terbaik. Nggak usah mikirin kerjaaan dulu. Lo bisa limpahin kerjaan ke kakak lo. Kakak lo udah pada tahu 'kan, Ra?" Na Ra seketika menggeleng.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now