Narcissus

593 97 18
                                    

Pagi hari ini tidak seperti pagi biasanya. Paginya Na Ra terbiasa sibuk untuk bersiap-siap ke kantor. Namun pagi ini, ia harus berada di rumah sakit untuk pengobatannya. Setelah mendapatkan penjelasan dan konsultasi, Na Ra memilih fokus pengobatan. Semua jadwal pekerjaan yang sudah direncanakan kini dibatalkan dan diwakilkan kepada managernya. Na Ra masih terus berpikir mengenai siapa yang akan mengurus perusahaannya. Tak mungkin ia menyerahkan semuanya kepada sang manager.

Sejam yang lalu, Ha Joon mengabari jika sedang dalam perjalanan ke Indonesia. Entahlah, rasanya antara senang dan sedih. Na Ra senang karena kakaknya itu segera ke Indonesia setelah mendapatkan kabar bahwa dirinya sakit. Namun sedihnya, Na Ra berpikir bahwa jika ia tak sakit, mungkin Ha Joon tak akan datang kemari. Selain itu, ia bersalah telah membuat Ha Joon kerepotan.

"Sarapan sekarang, ya?"

Na Ra yang awalnya melihat gawainya kini menatap sang bibi. "Boleh, A yi."

"A yi? Tumben panggil gitu. Kalian 'kan paling susah kalau disuruh panggil A yi waktu kecil."

Na Ra terkekeh pelan. "Na Ra bingung kalau panggil pake silsilah keluarga yang ribet. Ya udah Na Ra panggil kayak biasa aja."

"Ya untungnya keluarga kita nggak yang permasalahin panggilan," sahut sang bibi yang mengambil sarapan untuk Na Ra. Demam Na Ra sepenuhnya sudah turun. Kini ia menunggu waktu untuk tindakan selanjutnya.

"Tapi tetep kebiasaan keluarga itu ada. Dulu kalau eomeoni ngomel, semua bahasa digunain, Bi. Lebih pusing kalau ngomong pake Hokkien, Jawa, Indonesia, Korea tapi logat Semarang, serumah nggak ada yang paham. Tapi itu yang bikin Na Ra kangen sama eomeoni."

Bibi Risti ikut terkekeh kecil. "Mbak Ratna emang dari dulu mirip sama akongmu. Kalau nggak sesuai sama yang seharusnya, diomelin habis-habisan pake bahasa gado-gadonya. Tapi itulah yang bikin kita kangen sama mereka."

Sang bibi hendak menyuapi Na Ra. Namun gadis itu meminta agar makan sendiri sehingga sang bibi langsung membantu Na Ra mempersiapkannya.

"Ha Joon sampai di sini jam berapa, Ra?"

"Siangan jam 2 mungkin. Baru take off jam 7 ini." Sang bibi langsung mengangguk.

"Bibi sarapan dulu sama paman. Na Ra nggak apa-apa sendirian,Bi."

"Beneran nggak apa-apa?" Na Ra langsung mengangguk mantap.

Sang bibi kemudian keluar bersama dengan sang suami untuk mencari sarapan. Na Ra merasa tak enak dengan sang bibi karena pamannya itu turut serta menunggunya di Jakarta. Ia sudah merepotkan banyak orang.

Waktu terus bergulir. Na Ra meminta bibi dan pamannya untuk beristirahat sejenak di apartemennya. Sementara ia sendiri di rumah sakit tak masalah. Walaupun ia berada di ruangan VVIP dan terdapat satu bed untuk keluarga, namun tetap saja tidak nyaman. Sementara bibi dan pamannya sudah berusia 60 tahunan yang mana pasti lelah menungguinya seharian.

Sekitar pukul 13.00 WIB sang bibi beserta pamannya kembali ke rumah sakit. Mereka membawakan beberapa barang yang diperlukan Na Ra. Tak lama kemudian, dokter spesialis Onkologi Hematologi datang. Jika kemarin hanya dokter madya dan satu perawat, kini ada lima orang yang datang menemui Na Ra.

Tak seperti kemarin, kini dokter utama ikut mengunjunginya bersama dokter madya yang bertugas memeriksa keadaan serta membuat catatan medisnya. Dokter utama itulah yang pertama kali memberikan konsultasi saat dirinya diagnosis leukimia.

"Selamat siang, Ibu Kim Na Ra," sapa pria setengah baya bernama dr. Rasyid Alatas, Sp.PD-KHOM. Na Ra langsung membalas sapaan sang dokter dan tersenyum.

"Maaf hari ini saya bawa rombongan. Mereka adalah dokter residen yang nantinya akan membantu saya dan dokter Prima."

Dokter Rasyid memperkenalkan satu dokter pria dan satu dokter wanita yang merupakan residen spesialis Onkologi Hematologi. Na Ra langsung tersenyum dan mengangguk.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now