Hibiscus rosasinensis

465 135 29
                                    

Janu mencoba mengatur perasaan dan ritme jantungnya yang menggila. Ia harus memastikan jika Na Ra tak sedang bercanda atau hanya bualan semata. Jika ternyata Na Ra hanya bercanda dan ia menggunakan hatinya sebagai respon yang serius, justru ia yang akan kecewa.

"Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Ketika aku bersama kamu, aku merasa tenang dan berada di dalam penjagaan yang tulus. Aku merasakan bahwa ada orang dekat yang tulus denganku. Aku tidak tahu ini apa? Entah sebagai perasaan sahabat setelah sekian lama, atau benar-benar perasaan sesungguhnya? Dan itu aku menemukannya di kamu."

Na Ra menatap Janu yang masih tak percaya. Sungguh gadis di sisinya itu tak bisa ia prediksi.

"A-aku?"

"Aku tidak tahu," sambung Janu dengan tak yakin sebab ia sudah gugup terlebih dahulu.

Jawaban Janu membuat Na Ra mendesah kecewa. Ia berharap Janu akan berbicara panjang lebar. Namun tanpa Na Ra tahu, jantung Janu berdetak menggila di sana. Na Ra memang definisi perempuan yang tidak bisa diprediksi dengan baik.

Mereka lantas terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Na Ra dengan upaya meyakinkan apa yang telah diucapkan dan Janu dengan ketidakpercayaannya akan ucapan Na Ra.

Tak tahan dengan keheningan yang ada, membuat Na Ra berdecak pelan. Ia kembali menatap Janu.

"Baiklah jika kamu tidak bisa. Ah pikiranku sedang kacau dan gila. Lupakan saja."

Na Ra kembali mendesah pelan dan memejamkan matanya sembari mendongak ke atas. Ia merutuki pikirannya yang kacau.

"Why not? Let's try." Tiba-tiba Janu memberikan jawaban yang tak terduga. Langsung saja Na Ra menoleh ke arah Janu. Ia menatap Janu dengan tak percaya.

"Really? Lupakan saja. Aku sepertinya memang melantur. Ini nggak benar. Kita nggak ada alasan yang kuat untuk berpacaran. Alasanku tadi sungguh tidak masuk akal." Na Ra menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa tengah melantur.

"Tidak, Ra. Aku bersungguh-sungguh. Kita coba saja."

Na Ra mengembuskan napasnya panjang. "Bukan begitu, Jan. Kita tidak memikirkan dampak jangka panjangnya. Jika akhirnya kita tidak cocok, bukankah akan canggung ketika kembali menjadi sahabat sedangkan aku sendiri tidak bisa membayangkan hal itu. Memang kita lebih baik sahabatan saja. Maafkan ucapanku tadi."

Na Ra resah dengan pikirannya sendiri. Ia lupa memikirkan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya jika ia menyatakan hal tersebut.

Bukannya menujukkan raut wajah datar atau pun kecewa, Janu justru terkekeh pelan. Ia terhibur dengan ekspresi frustasi Na Ra yang bingung dengan sendirinya.

Na Ra berdecak melihat kekehan Janu. Baginya ia tidak sedang bercanda.

"Ra, bukankah lebih baik dicoba daripada tidak sama sekali? Aku setuju dengan kamu. Kita sama-sama tidak ada pasangan dan terlalu nyaman seperti ini. Untuk masalah tidak cocok di kemudian hari, aku rasa itu memang hal yang harus dipersiapkan dari sekarang. Kita bisa kembali menjadi sahabat jika memang pada akhirnya kita menemukan jodoh masing-masing."

Sebenarnya kalimat terakhir yang diucapkan olehnya sungguh berat. Ia tak mau Na Ra menjadi milik orang lain. Itu hanya alibinya saja. Ia akan berusaha mempertahankan gadis yang menjadi alasannya masuk ke dalam komando khusus itu. Ia rela dihajar oleh pelatih dan merasakan neraka dunia hanya untuk membuktikan bahwa dirinya bisa mencapai puncak tertinggi. Ia ingin membuktikan bahwa ia layak untuk Kim Na Ra.

Na Ra terdiam meresapi ucapan Janu. Jika dipikir, mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali. Rasanya aneh jika berbagi kabar antara lawan jenis di usia yang matang ini hanya sebagai sahabat. Munafik bagi Na Ra jika menampiknya. Terkadang ia berpikir jika dirinya dan Janu terjebak dalam friendzone. Ia menyadari hal itu, namun Na R selalu denial akan hal itu.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now