Gardenia

531 115 14
                                    

"Neng, jangan lupa wortelnya dipotong dadu, ya," ucap tante Inaya pada Na Ra. Mereka saat ini sedang memasak bersama di dapur.

"Siap, Ma."

"Tumben mama nggak ikut om pergi dinas?" tanya Na Ra kemudian.

"Jauh, Neng. Kalau jauh sekarang mama nggak ikut papa. Papanya Janu juga melarang mama ikut. Takut kayak kemarin nge-drop. Padahal mama sehat-sehat aja sekarang," sahut tante Inaya sembari meracik bumbu soto bandung.

"Na Ra kalau jadi om Arief pun sama. Pasti om Arief nggak mau lihat mama sakit gara-gara kecapekan," sahut Na Ra kembali sembari tersenyum.

Tante Inaya lalu terkekeh pelan. "Janu juga bilang gitu. Dia yang pertama melarang mama pergi-pergi jauh lagi. Katanya di rumah aja. Tapi mama 'kan bosen. Dihyan ke rumah mama cuma pas weekend aja. Selain itu, mama sepi. Hari-hari cuma bisa masak dan berkebun di belakang." Dihyan adalah anak Harlin yang berusia tiga tahunan.

"Na Ra boleh tanya nggak, Ma?" tanya Na Ra kemudian.

"Boleh. Mau nanya apa, Neng?"

"Teh Harlin tinggalnya 'kan sama-sama di Jakarta. Kenapa mama nggak minta teh Harlin tinggal di sini?"

Tante Inaya tersenyum mendengar pertanyaan Na Ra.

"Bagi mama, anak-anak kalau udah nikah, harus keluar rumah. Nggak peduli dia laki-laki atau perempuan. Walaupun mama pada akhirnya kesepian, tapi itu sudah jadi resiko. Anak-anak mama punya kehidupan masing-masing. Tanggung jawab mama hanya merawat, mendidik, dan memberikan nasihat. Mama nggak bakal ikut campur permasalahan anak-anak mama kecuali jika anak mama disakiti. Makanya mama nggak bakalan menahan anak-anak ketika sudah menikah."

"Papanya Janu juga begitu. Kita berdua udah sepakat hidup berdua. Nggak apa-apa kita kesepian walaupun terkadang merasa sedih jika hanya berdua. Kalau diingat, mama dan papa dulunya juga berdua, lalu kembali berdua lagi. Menjadi orang tua kayak gini, Neng. Balik berdua lagi."

Tante Inaya kembali memberikan senyuman pada Na Ra. Beliau menghentikan sejenak aktivitasnya.

"Mama nggak sedih begini? Rata-rata orang tua ingin ditemani anak-anaknya." Na Ra kembali bertanya.

"Kalau sedih, itu relatif. Sedihnya kalau kangen masa mereka masih kecil. Sekarang lebih mikir ke bagaimana mama dan papa menghabiskan masa tua. Mama dan papa kalau kangen cucu biasanya datang ke rumah Harlin. Kalau kangen Janu, paling telepon tanya kabar. Habis itu lega, udah. Kita sudah terbiasa jauh-jauhan. Harlin dulu kuliah di Yogyakarta, terus lanjut ke Amerika. Janu juga Akmil di Magelang, lalu dinas di luar pulau dan lanjut sekolah ke Amerika. Kita sudah terbiasa berjauhan, Neng."

Na Ra mengangguk mengerti. Ternyata menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Pantas saja sang bibi kerap merasa kesepian di hari tuanya walaupun sudah legowo dengan keputusannya sendiri.

"Loh di sini, Ra?"

Kedua perempuan itu kompak membalikkan badan. Janu datang tanpa disangka.

"Kok belum ganti pakaian, A'? Tadi langsung dari batalyon?" tanya tante Inaya ketika melihat Janu masih mengenakan PDL.

"Ada acara tadi. Janu kira sampai rumah sebelum maghrib ternyata sampai habis maghrib. Ada penutupan jalan dan harus muter lebih jauh lagi," jelas Janu. Pria itu melirik Na Ra yang kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Ya udah kamu ganti pakaian sana. Langsung mandi," perintah sang mama.

"Sejak kapan kamu di sini, Ra? Kok nggak bilang aku sih?" protes Janu. Seharusnya Na Ra memberitahu dirinya jika ke rumah orang tuanya.

Menghitung KarsaWhere stories live. Discover now