3. Waktu

7.1K 850 109
                                    

3. Luka dan penyembuhnya

Luka fisik akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi, luka di hati akan membekas selamanya dan tak akan pernah ada obatnya.

Spill satu kalimat terjahat yang pernah kalian terima dan tidak bisa kalian lupakan sampai sekarang meski sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun di sini.

🦋

"Anak tolol!"

"Tidak berguna!"

"Benalu!"

"Beban!"

"Kenapa dari kecil tidak mati saja, hah?"

Oh ayolah... Diaska hanya ingin meneguk segelas air dengan tenang. Apa sesulit itu?

Ayahnya benar-benar sangat marah perihal tadi pagi hingga melampiaskan emosi dengan cara memukulnya pakai rotan tak cukup bagi pria itu. Kini saat kembali bertemu tatap dengannya di dapur, serangkaian kata-kata mutiara terus keluar dari bibirnya untuk Diaska.

Cowok itu hanya tersenyum mendengarnya seakan itu hal yang sudah biasa ia terima.

"Sudah ku bilang jangan menatapku seperti itu!" bentak Rio meraih kerah bajunya kemudian mendorong tubuhnya kasar hingga menabrak meja makan dan jatuh dengan kepala tepat mengenai kaki Tamara yang terkejut.

Tamara langsung memalingkan wajahnya saat tak sengaja melakukan kontak mata dengan Diaska. Dari Diaska kecil, wanita itu memang tak pernah berani bertemu tatap dengan Diaska, seperti ada ribuan jarum yang menusuk ulu hatinya saat ia melihat pancaran mata anak itu.

Diaska sendiri tentu sudah lelah dengan apa yang ia terima di keluarga ini. Apa-apa serba salah bahkan, ia bernapas pun salah di mata sang ayah. Pernah sekali dia kabur dari rumah itu. Namun, harus kembali saat Bi Marsih asisten rumah tangga keluarga Adhytama menelponnya sambil menangis dan mengabarkan kalau Bulan demam tinggi serta terus menyebut namanya dan mencarinya.

Salah Diaska sendiri yang membuat adiknya terlalu bergantung padanya hingga ia mau tidak mau menahan sakit dan terus tinggal di rumah yang sama sekali tak ramah demi rasa sayangnya yang begitu besar pada Bulan yang sedikitpun tak mau pisah darinya.

"Oke," kata Diaska bangkit sembari memegang keningnya yang berdarah bekas lemparan gelas dari Tamara.

"Cukup untuk hari ini. Terima kasih, Pa, Tante ... Mendengar semua hinaan dan caci makian kalian membuatku seperti punya tujuan untuk hidup," katanya kemudian berjalan santai meninggalkan dapur dan menghiraukan raut terkejut ayahnya karena ucapannya.

Anna sendiri bersandar di pintu sembari bersedekap dada menatap bengis cowok bertopi di depannya yang sedari tadi meringis.

Cewek itu selalu khawatir setiap Diaska tidak bisa dihubungi. Khawatir ayah mantannya itu menggila seperti dulu. Seisi rumah tetangganya itu kecuali Natta dan Bulan menganggap Diaska masalah.

"Kenapa lo nggak angkat telpon gue?" tanya cewek itu mengintimidasi.

Bola mata Diaska berpendar ke segala arah mencari alasan.

"Jawab Diaska! Dua puluh chat gue juga nggak lo bales!" teriak Anna yang membuat Diaska menutup kupingnya.

"Anu itu ..." Diaska berpikir keras. "Handphone gue kebawa di tas Loren!"

HopelessWhere stories live. Discover now