44. Hidup Bahagia

3.4K 519 946
                                    

44. Hidup Bahagia

Makan yang banyak, tidur yang nyenyak, dan jadilah orang yang hidupnya bahagia.

🦋

Berada dalam satu ruangan dengan sahabat yang sekarang memiliki hubungan yang buruk dengannya bukanlah sesuatu yang mudah bagi Diaska. Ia hanya menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan yang bertumpu di atas meja menghindari tatapan-tatapan intimidasi dari teman-teman sekelasnya yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Sekarang, setelah satu persatu orang memasuki kelas dan tak satu dua orang yang tertangkap membicarakannya, Diaska benar-benar sudah merasa tidak lagi punya tempat di dunia ini.

Semua orang seolah menganggapnya penjahat tanpa ia tahu dosa apa yang telah ia perbuat. Pada dasarnya, orang-orang kerap senang menghakimi tanpa mau tahu akar permasalahan yang sebenarnya.

"Jangan bangunkan dia, biarkan saja."

Suara Bu Dwi, wali kelasnya memasuki indra pendengaran. Sepertinya dari semua orang di kelasnya, guru wanita yang kerap dikenal killer itu cukup memahami posisinya.

Diaska tak bergeming di tempatnya, pura-pura tidur sampai suara langkah kaki terdengar semakin jelas mendekat ke arahnya.

"Kamu sudah menjadi ketua OSIS, Loren. Jadi contoh yang baik dong buat teman-temanmu," tegur Bu Dwi akan perangai muridnya yang tidak pernah tidak terlambat masuk kelas itu.

"Saya udah jadi contoh yang baik, Bu. Melakukan apa yang disuka, larangan dibuat untuk dilanggar kan?" Loren mengangkat kedua alisnya.

Bu Dwi memilih bungkam bukan karena tidak berani atau pun tidak punya kharisma sebagai guru tetapi ia belajar dari pengalaman, berdebat sama Loren hanya akan membuat darah tingginya kumat.

Loren sendiri duduk di samping Diaska seraya berkata, "gue tahu lo nggak tidur."

"Ssssst." Diaska bersuara kecil berharap Loren paham kodenya.

"LO PURA-PURA TIDUR KAN?"

Seisi ruangan menoleh ke arah mereka berdua. Diaska bangkit seraya mengeluarkan sumpah serapah untuk sahabatnya yang sekarang tertawa puas. Bu Dwi memperhatikan mereka berdua dengan tatapan tajam nan mematikan hingga Loren menghentikan tawanya.

Saat Bu Dwi sibuk menjelaskan di depan, Loren dan Diaska malah mengobrol di belakang.

Diaska mengeluarkan sebuah kotak berwarna cokelat dan meletakkannya di depan Loren. "Buat lo. Isinya jam tangan. Ini kado pertama yang gue terima, dari Kakek gue. Karena terlalu berharga makanya gue nggak pernah pakai."

"Ini kado terakhir dari lo?" Loren bertanya dengan tampang tak berdosa.

"Lo hari ini aja nggak bikin gue kesal, bisa?" Diaska menutup tasnya.

"Gue kira lo udah habis di tangan bokap lo, Ka," kata Loren.

Diaska tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Takut lo nggak punya temen kayak gue?"

Loren tak menjawab dan malah pura-pura memperhatikan penjelasan Bu Dwi di depan membuat Diaska tertawa.

"Kalau gue mati, di kehidupan selanjutnya, kita temenan lagi, ya, Ren," ucap Diaska.

Tanpa menatap Diaska, Loren menjawab, "nggak, lo beban."

"Sialan!"

Suara deheman Bu Dwi membuat Diaska tersenyum ke arah gurunya itu. Keduanya mulai memperhatikan pelajaran sampai Bell pertanda pelajaran berganti berbunyi.

HopelessWhere stories live. Discover now