46. Terima kasih

3.7K 533 595
                                    

46. Terima kasih

Hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kamu inginkan karenanya siap atau tidak, kamu harus mencoba berdamai dengan keadaan.

🦋

Tamara berlari mendorong tubuh suaminya dengan keras hingga cengkraman pria itu di leher Diaska spontan terlepas.

"Kamu gila hah?" teriaknya menggelegar. "Kamu sudah nggak waras, Rio!"

Diaska terbatuk-batuk membuat Tamara mengalihkan atensinya dan bergegas memberi anak itu air minum.

"Apa perlu aku panggilkan dokter?" tanya wanita itu.

Diaska memandang Tamara lekat. Setelah semua yang terjadi, ini pertama kalinya ia bisa sedekat itu dengan ibunya.

Perasaanya menjadi campur aduk. Sakit, sedih, dan benci. Semuanya menjadi satu. Benci kenapa ia bisa sedekat itu tapi tak bisa ia peluk erat.

"Jawab!" bentak Tamara membuatnya terperanjat.

Dia menggeleng kecil sementara Tamara beranjak ingin menghampiri suaminya. Namun, tangannya dicekal oleh Diaska.

"B-beri aku waktu sebentar. Aku ingin kita bicara. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan," ucap Diaska dengan tatapan memohonnya.

Hanya saja, Tamara yang masih dikuasai emosi tentang semua hal yang berkaitan dengan anak itu segera menepis kasar tangan Diaska yang memegang pergelangan tangannya.

Ia malah menarik Rio secara kasar keluar tanpa berbalik sekadar untuk melihat keadaan Diaska.

"Aku mohon ... Lima menit aja, Ma," kata Diaska membuat Tamara dan Rio menghentikan langkahnya.

"Ma?" Tamara tertawa sumbang. "PUNYA KEBERANIAN DARI MANA KAMU MEMANGGILKU DENGAN SEBUTAN ITU?"

"Biarkan aku membunuh anak kurang ajar itu, Tamara!" geram Rio mengepalkan tangan.

Tamara menghiraukan suaminya dan berjalan menghampiri Diaska hanya untuk melayangkan tamparannya ke pipi kanan anak itu.

"Aku merasa terhina dan jijik pada diriku sendiri mendengar mu memanggilku dengan sebutan itu!" geram Tamara dengan tatapan tajam yang seperti sebuah pisau menghunus hati Diaska yang kehilangan kata-katanya.

Anak itu hanya menatap tepat dan dalam mata Tamara yang segera memutus kontak mata mereka seraya bergegas menghampiri suaminya.

"Aku anakmu! Kenapa aku nggak boleh memanggilmu seperti itu?"

"ANAK SIALAN!" teriak Tamara lantang dan berurai air mata. Entah kenapa ia merasa sangat sakit hati sekarang. "Tutup mulutmu atau aku yang akan membunuhmu, brengsek!"

"Hanya karena kamu pernah melindungi ku, hanya karena kamu pernah mengorbankan nyawamu demi menyelamatkan putriku bukan berarti kamu bisa menjadi anakku! Aku tidak sudi memiliki anak sepertimu!"

Air mata menganak sungai di pipi Diaska mendengar kalimat terakhir ibunya.

Rio berjalan tergesa menghampiri Diaska di ranjang pesakitan nya. Namun, Tamara segera menyeret kasar lengan pria itu pergi dari sana.

Waktu terus berjalan. Diaska terdiam dengan pandangan kosong. Teringat semua kata-kata ibunya, matanya menolak untuk terpejam bahkan barang sedetik pun.

HopelessWhere stories live. Discover now