42. katanya dan faktanya

3K 502 1.9K
                                    

42. Kata dan fakta

Berhenti menghakimiku berdasarkan "katanya" tanpa mau mencari tahu apa "faktanya"

🦋

Tubuh Tamara bergetar hebat melihat darah yang begitu banyak mengotori lantai yang ia pijak. Dia memundurkan langkah dengan tangan kanan memegang pipinya yang terciprat cairan kental berwarna merah, menurunkan tangan dan melihat sela-sela jarinya yang berlumuran darah membuatnya menjatuhkan senjata api yang ada di tangan kirinya.

Pandangan wanita itu jatuh ke sebuah tangan berlumuran darah milik seseorang yang menjadi korbannya. Terbaring mengenaskan hingga tak sanggup ia melihatnya. Namun, gerakan perlahan dari jari jemari anak itu membuat Tamara mau tak mau memberanikan diri melihat wajahnya.

Tatapan mata penuh luka dan kesakitan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata yang pertama kali dilihatnya menghunus jantungnya hingga menyebabkan rasa sakit yang membuatnya kesulitan bernapas.

Anak itu, Diaska tak bisa bersuara pun berkata. Hanya darah yang terus keluar dari mulutnya dan cairan bening dari pelupuk matanya.

"Kamu pantas mendapatkannya!" maki Tamara menangis sembari memundurkan diri. Namun, kakinya ditahan oleh tangan berlumuran darah Diaska yang susah payah berkata,

"Ma ... To-long a-aku."

Tamara terbangun dengan napas terengah-engah dan keringat dingin membanjiri pelipisnya. Mimpinya barusan, kenapa begitu terasa sangat nyata?

Ia melihat ke arah kedua tangannya yang gemetar hebat lalu mengusap peluh di dahinya. Tatapannya beralih ke atas nakas di mana ponselnya menyala dan bergetar saat seseorang menghubunginya. Wanita itu mengulurkan tangan mengambil bend pipih persegi panjang itu lalu mengangkat panggilan yang masuk.

"Iya, Bi. Saya akan segera ke sana," katanya bangkit dari ranjang lalu menyambar handuknya.

"Iya. Bibi mau dibawain apa?" tanyanya berhenti di depan pintu kamar mandi.

"Yaudah, Bi. Saya tutup dulu, ya." Tamara menutup panggilan lalu bergegas masuk kamar mandi untuk bersiap-siap ke rumah sakit.

Selang beberapa menit, Tamara yang sudah siap bahkan sudah menenteng tas Dior kesayangannya menatap pantulan dirinya di depan cermin.

Natta sudah siuman. Kondisinya sudah stabil. Kata dokter tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Lantas, kenapa ia tidak tenang? Kenapa ia terus gelisah, kenapa ia terus bermimpi buruk setiap terpejam, kenapa hatinya sakit sekali?

Apa alasan dari semua perasaan yang menggerogotinya. Seharusnya ia sudah bisa tenang sekarang bahkan suaminya akan mengadakan syukuran atas kesembuhan putra mereka. Harusnya Tamara merasa senang. Harusnya ia tidak gelisah lagi. Harusnya hatinya sudah jauh lebih tenang.

Apa semua perasaan ini karena rasa takut dan trauma atas apa yang sudah menimpa Natta?

"Kenapa?" Rio tiba-tiba datang memeluk pinggang rampingnya dari belakang. "Anak kita udah sembuh, Tamara. Apa lagi yang kamu khawatirkan?"

"Bagaimana kalau dia kembali melukai Natta? Bagaimana kalau dia juga mengincar Bulan? Aku nggak tahu tapi mungkin itu semua yang bikin aku nggak bisa tenang sampai sekarang." Tamara mengeluarkan semua yang ia pikirkan.

HopelessWhere stories live. Discover now