Dua Belas

265 19 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Kedua tangan Esha saling bertautan di bawah meja. Pandangannya, terarah ke seseorang yang duduk di hadapannya sejak beberapa menit yang lalu. Sesekali ia mengigit bibir bagian dalamnya berusaha mengurangi rasa gugup. Ruangan restoran yang dingin sama sekali tidak membuatnya merasa sejuk.

Setelah seorang pramusaji pergi membawa pesanan mereka, Lina tidak lagi membuka suara. Jangan tanya mengapa Esha menjadi pendiam karena saat ini ia merasa gugup. Sangat gugup. Untuk mengatakam satu kata pun rasanya ia tidak mampu. Pandangan Esha sesekali beralih ke sekitar menghindari kontak mata dengan Lina yang bergeming menatapnya.

Ketika Esha setuju untuk bertemu, Lina dengan cepat mengabari bahwa ia telah memesan meja di salah satu restoran untuk keduanya. Dan di sinilah mereka berdua, salah satu restoran dekat sekolah Zio. Lina sengaja memilih restoran tersebut sembari menunggu Zio pulang sekolah.

"Esha." Netra Esha kembali mengarah ke Lina setelah ia mendengar namanya disebut.

"Saya mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah bersedia untuk menemani Zio pergi ke sekolahnya," ucap Lina.

Esha menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. "Iya, Bu sama-sama. Saya seneng kok bisa temenin Zio kemarin."

"Kamu sudah lama bertemu dengan Zio?"

"Bertemu Zio belum terlalu lama, Bu," jawab Esha berusaha setenang mungkin. Di depannya ada ibu dari Hadinata dan oma dari Zio tentunya Esha tidak ingin ada keselahan ketika menjawab pertanyaan yang mungkin akan semakin bertambah nantinya. Esha sebenarnya tidak siap untuk ini, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar sehingga ia setuju ketika Lina mengajaknya bertemu tanpa memberitau Hadinata jika keduanya bertemu.

"Kalau Hadinata?"

"Sama, Bu belum terlalu lama juga."

"Zio dekat sekali dengan kamu. Biasanya Zio sedikit sulit untuk dekat dengan orang baru, tapi kamu bisa dekat dengan dia dengan waktu yang singkat. Gak ada satu hari pun terlewat tanpa dia cerita mengenai kamu."

Esha diam, tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Lina pun terlihat mengatur napasnya sebelum kembali berbicara.

"Saya gak tau sejauh apa hubungan kamu dan Hadinata saat ini. Kamu jangan salah paham dengan saya, ya, Esha. Saya bukan tidak menyukai kamu saya hanya berpikir apakah hubungan kalian akan berhasil," ujar Lina, "hubungan kalian masih sangat baru, kalian baru bertemu. Hadinata dengan mamanya Zio sudah saling mengenal dan dekat hampir seluruh hidup mereka. Berteman dari kecil dan saling mengenal nyatanya gak membuat hubungan mereka berjalan lama," lanjutnya.

Esha menundukkan kepala, tangannya yang saling bertaut semakin mengerat. Ingin sekali Esha mengatakan jika lamanya waktu tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan hubungan seseorang, tetapi ia tidak berani menyampaikan hal tersebut secara langsung. Esha sadar, hubungannya dan Hadinata pun hanya berdasarkan kontrak terlepas bagaimana dengan perasaannya. Apa hubungan yang didasarkan dengan selembar kertas perjanjian jauh lebih baik?

"Esha, saya sangat menyayangi Hadinata begitupula Zio. Saya ingin mereka bahagia tentunya, tetapi di satu sisi saya juga cemas. Banyak luka yang mungkin secara tidak sengaja saya berikan untuk Hadinata. Saya tidak ingin Zio juga mengalami hal tersebut, jadi saya menginginkan perempuan terbaik yang bisa menjadi ibu bagi Zio dan istri bagi Hadinata," jelas Lina.

Esha mengerti bila setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk mengenai pasangan. Apa itu berarti Lina mengharapkan seseorang yang jauh lebih baik dibandingkan dirinya? Seharusnya Esha tidak perlu sedih ketika mendengar hal tersebut. Hubungannya dan Hadinata pun akan segera berakhir dalam beberapa minggu. Mereka akan kembali menjalani kehidupan masing-masing. Seharusnya Esha sadar dengan posisinya. Apakah Esha boleh berharap meskipun hanya sedikit? Bahkan ia tidak mengetahui bagaimana pandangan Hadinata mengenai dirinya.

Esha membayangkan dalam beberapa minggu, ia tidak bisa bertemu dengan Zio, tidak lagi bisa saling mengirim pesan atau berbicara melalui telepon, tidak juga pergi bermain bersama. Rasanya Esha tidak pernah siap untuk berpisah dengan Zio begitupula dengan Hadinata.

"Saya mengerti, Bu. Kalau saya jadi orang tua saya pasti menginginkan hal yang sama," ujar Esha setelah tidak ada lagi suara dari Lina.

Lina mengembuskan napasnya, tangannya membentuk pola abstrak di atas meja. "Setelah Hadinata bercerai dengan istrinya saya semakin khawatir dengan seseorang yang akan menjadi pasangan Hadinata jika ia memutuskan untuk menikah lagi. Apalagi saat ini Hadinata memiliki Zio. Perpisahan mereka menjadi tamparan bagi saya saat itu."

"Kamu terlihat masih sangat muda, Esha? Berapa usia kamu sekarang?" tanya Lina lagi.

"Saya 27 tahun, Bu."

Lina mengangguk mengerti. "Kamu dan Hadinata berbeda usia cukup jauh, 8 tahun. Menurut kamu kekhawatiran saya dengan keberhasilan hubungan kalian apakah masuk akal?"

Belum sempat Esha menjawab, seorang pramusaji yang sebelumnya mencatat pesanan mereka kembali dengan beberapa makanan dan minuman yang keduanya pesan. Makanan yang terlihat sangat menggiurkan ini rasanya tidak lagi menarik di mata Esha.

"Silakan di makan, Esha. Makan selagi hangat jauh lebih enak kan," kata Lina sembari menikmati makanannya.

Esha hanya mampu tersenyum dan mengangguk. Lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat yang diperlukan olehnya saat ini adalah berada di kamar seorang diri bukan duduk di tengah keramaian restoran dengan berbagai macam suara yang menjadi latarnya.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu