Tiga Puluh Dua

445 34 0
                                    

Cafe berkonsep unfinished building yang berada di kawasan Senopati, Jakarta Selatan menjadi tempat yang dipilih oleh Sania dan Lyra untuk bertemu. Pertama kali masuk kesan homey begitu terasa dengan berbagai kursi dan meja kayu, pencahayaan, hingga sofa berwarna merah yang terlihat begitu kontras dengan bangunan. Beberapa jenis biji kopi diletakkan ke dalam coffee canister transparan yang tersusun rapi di atas meja bar membuat cafe ini semakin menarik. Wangi kopi yang dihasilkan oleh mesin roasting serta beberapa barista yang bekerja dibaliknya pun menjadi hal yang tak luput dari perhatian.

Duduk di salah satu sofa yang berada di sudut bangunan Sania melambaikan tangan begitu netranya menatap Esha dan Lyra yang datang bersamaan.

"Sorry kita telat, ya?" tanya Lyra begitu sampai di hadapan Sania yang duduk bersama dengan Veera

"Enggak kok, gue juga baru sampe," jawab Sania.

Veera tersenyum sembari mengarahkan Esha dan Lyra untuk segera duduk. "Iya, gak telat kok. Tenang aja."

"Macet banget kan pasti. Apalagi weekend gini. Oh iya kita di bawah aja gapapa kan? Di lantai dua pasti rame. Atau kalian mau di outdoor aja?" Sania melirik ke arah tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua cafe.

"Gapapa, di sini aja." Lyra menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.

"Mau pesen apa? Biar gue sama Sania yang pesen," ucap Veera menatap Esha dan Lyra bergantian.

"Gue mau tuna salad sama creme brulee yang large." Veera menggangguk mengerti sebelum beralih ke arah Esha. "Lo mau apa, Sha?"

"Nasi goreng kampung sama americano yang large," ujar Esha, "itu aja, makasih, Veera," lanjutnya.

"Mau nachos sama kentang juga gak? Buat bareng," tawar Sania karena menurutnya mereka akan menghabiskan waktu yang cukup lama di sini. Setidaknya harus ada beberapa makanan lainnya untuk menemani mereka.

Esha mengangguk setuju. "Boleh."

"Oke, tunggu ya kita pesen dulu."

Pandangan Esha mengikuti Sania dan Veera yang perlahan menjauh dari tempatnya. Tempat ini terasa menenangkan meskipun ramai orang yang datang. Mulai dari remaja hingga dewasa berkumpul di satu tempat yang sama dengan berbagai kegiatan yang berbeda.

"Hari senin lo mulai kerja, gimana?" Lyra menepuk pundak Esha meminta perhatiannya.

"Excited, semoga yang kali ini lebih baik dari sebelumnya," balas Esha.

Sania mengistirahatkan tubuhnya kesandaran sofa setelah selesai memesan makanan mereka. Suasana yang nyaman membuatnya mengantuk. "Lagi bicarain apa kayanya seru?" Sania membetulkan posisi duduknya, tetapi masih dengan posisi menyender.

"Esha besok senin udah mulai kerja," ujar Lyra dengan penuh semangat.

"Wah, di mana sekarang?" tanya Veera ikut senang dengan berita yang baru diterimanya.

"Di MH Media, media planner," kata Esha dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik.

Veera mengganggukkan kepalanya sedangkan Sania tidak dapat menutupi ekspresi terkejutnya. "Kenapa, San kok kaget gitu?" Veera menyengol lengan Sania yang berada di sebelahnya.

"Hah, oh enggak enggak. Selamat, Sha." Sania kembali menormalkan ekspresinya meskipun ada banyak sekali pertanyaan yang berada di kepalanya.

"Eh iya, MH Media itu punya keluarganya Hadinata," ujar Veera dengan mata melebar, "kalian kenal Hadinata kan, ya sama Hadinata temen deketnya Daffa sama Sania," lanjutnya menatap Esha dan Lyra kemudia beralih ke arah Sania.

Esha menggangguk sebagai jawaban tidak memiliki keinginan untuk menjelaskan lebih jauh. Lyra dan Sania menatapnya seolah berbicara apa ia baik-baik saja. Esha mengerti jika Veera tidak mengetahui hal ini karena mereka pun baru satu kali bertemu sebelumnya secara tidak sengaja. Berbeda dengan Lyra dan Sania yang mengetahui seperti apa hubungannya dengan Hadinata.

Veera menjentikkan jarinya begitu mengingat sesuatu. "San, gue lihat snapgram-nya Elin kemarin dia ketemu Zio."

Sania merasa udara disekitarnya berkurang, mukanya mendadak pucat mendengar sesuatu yang sangat tidak ingin ia bicarakan di depan Esha. Matanya secara perlahan melirik Esha yang kini ikut menatapnya. Apakah Esha sudah mengetahui siapa itu Elin? Apakah hal seperti ini tidak masalah jika harus dibicarakan?

"Kalian kenal Elin? Mantannya Hadinata? Kalau iya ternyata circle kita kecil banget, ya." Veera tertawa kecil tidak menyadari suasana disekitarnya yang perlahan berubah.

Sania memejamkan matanya sesaat dan mengembuskan napasnya. Sebaiknya di lain waktu ia memberitahu Veera terlebih dahulu untuk tidak membahas apa pun yang berhubungan dengan Hadinata.

Esha tersenyum kecil. "Enggak, gue sama Lyra gak kenal."

Veera mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Oh kirain kenal, juga."

"Dia beneran ketemu sama Zio? Hadinata sama Elin gak akan balikan kan, San?" tanya Veera yang belum ingin berganti topik pembicaraan.

"Belum sempat ngobrol lagi sama Hadinata jadi belum tau apa-apa," jawab Sania diplomatis.

Pesanan yang mereka pesan datang membuat baik Sania ataupun Lyra mengembuskan napasnya lega. Setidaknya tidak akan ada lagi pembahasan mengenai Hadinata.

Esha menatap makanan yang kini berada di hadapannya dengan tidak selera. Elin yang selama ini hanya ia pertanyakan hubungannya dengan Hadinata akhirnya terjawab. Semestinyanya ia merasa biasa saja, tetapi kalimat mengenai Zio yang kini bertemu dengan mama kandungnya berhasil mengusiknya. Apa pada akhirnya ia akan menjadi sosok yang terlupakan? Mengingat tak ada lagi pesan dari Zio yang ia terima juga kehadiran seseorang yang sangat dinantikan oleh Zio kini berada didekatnya, sangat mungkin jika ia tak akan lagi diingat.

The Right Woman On The Right Place [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora