Dua Puluh Sembilan

168 15 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Frederick Perls seorang psikiater yang terkenal dengan pendekatan gestalt berpendapat jika seseorang memiliki masalah karena menghindari masalah. Bagi sebagian orang menghindari masalah menjadi salah satu mekanisme pertahan diri yang dapat dilakukan atau dikenal juga dengan avoidance. Kecemasan yang dirasakan juga perasaan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah membuat seseorang memilih untuk menghindar.

Untuk sementara mungkin akan berhasil, tetapi coba bayangkan bila hal tersebut terus dilakukan. Berapa banyak masalah yang akhirnya terabaikan dan ditekan sedemikian rupa. Tidak pernah ada penyelesaian. Sampai pada akhirnya di suatu waktu masalah ini secara bersamaan kembali hadir dan menimbulkan sesuatu yang lebih besar. Bukankah masalah ada untuk dihadapi? Bukankah dengan masalah seseorang akan belajar banyak pengalaman? Bukankah itu proses yang akan selalu terjadi?

Berbicara memang begitu mudah, sangat mudah. Esha mungkin bisa berbicara dengan lantang, tetapi ketika dihadapkan dengan kenyataan semuanya tidak semudah yang dibicarakan.

Pesan dari Zio yang ia terima beberapa waktu lalu membuatnya semakin tidak nyaman. Esha menghindar dari Zio, lebih tepatnya Esha berusaha menghindari masalah yang mungkin akan timbul ketika ia memutuskan untuk membalas pesan Zio. Seharusnya Zio tak perlu terlibat dalam keegoisan orang dewasa di sekitarnya.

"Esha. Esha." Lyra menepuk pundak Esha untuk kesekian kalinya karena tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Apa?" balas Esha setelah tersadar dari lamunannya.

"Lo gue panggil diem aja. Apa gak ada tempat yang pengen lo datengin?" tanya Lyra sembari melirik Esha yang duduk dengan tenang di kursi penumpang.

Sesuai dengan janjinya, sore ini Lyra mengunjungi Esha ke rumah orang tuanya. Rencananya mereka akan menghabiskan waktu dengan menikmati ice cream kesukaan Esha dan Lyra. Namun, sepanjang perjalanan Esha hanya bergeming. Lyra bahkan kehabisan akal untuk membuat Esha berbicara. Dalam hatinya tidak henti ia mengucapkan berbagai sumpah serapah untuk Hadinata. Ia berjanji akan memukul Hadinata dengan tasnya jika mereka bertemu. Mungkin tas puluhan jutanya terlalu bagus untuk memukul Hadinata. Bagaimana dengan sepatu 5 centinya, sepertinya lebih baik daripada menggunakan tas.

"Gak ada, kita ke mixue aja sesuai rencana," ucap Esha tanpa menatap Lyra.

Lyra mengembuskan napasnya, tanganya bergerak mengencangkan volume radio guna mengisi kesunyian di dalam mobil. Jakarta dengan kemacetannya yang tak pernah berakhir membuat perjalanan terasa semakin lama.

Aku memang terlanjur mencintaimu
Dan tak pernah kusesali itu
Seluruh jiwa telah kuserahkan
Menggenggam janji setiaku

"Astaga orang-orang gak bisa sabar apa ya, itu lampu baru aja berubah jadi ijo tapi bunyi klakson udah kaya apa," gerutu Lyra sembari mengemudikan mobilnya.

Kumohon jangan jadikan semua ini
Alasan kau menyakitiku
Meskipun cintamu tak hanya untukku
Tapi cobalah sejenak mengerti

"Tapi cobalah sejenak mengerti." Lyra mengerakan kepalanya ikut bersenandung ketika mengetahui lagu yang saat ini diputar di radio.

"Bila rasaku ini rasamu. Sanggupkah engkau menahan sakitnya. Terkhianati cinta yang kau jaga." Lyra menarik napasnya sebelum melanjutkan nyanyiannya. "Coba bayangkan kembali. Betapa hancurnya hati ini, kasih. Semua telah terjadi." Seperti seorang penyanyi profesional Lyra mengerakkan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya tetap berada dikemudi.

"Brengsek."

Esha mematikan radio membuat Lyra tersentak kaget. Belum sempat ia bertanya suara tangis Esha sudah lebih dulu memenuhi indra pendengarannya. Wajahnya memucat begitu menyadari ketidakpekaannya. Matanya melirik Esha yang menghapus air matanya dengan kasar.

"Esha, sorry," cicit Lyra.

Esha menggeleng. "Kenapa minta maaf? Ini gue emang lagi perasa banget sampe dengerin lagu aja nangis."

***

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now