Enam Belas

269 16 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

"Lagu kesukaan saya, Mas. Saya besarin suaranya sedikit gapapa kan, ya?" ucap Esha begitu mendengar lagu kesukaannya diputar di radio. Mendapat anggukan dari Hadinata membuat Esha menjulurkan tangannya membesarkan volume, hanya sedikit karena ia tidak ingin menganggu Zio yang sedang terlelap di kursi belakang setelah menyantap sarapan yang dibuatkan oleh Esha.

Kita usahakan rumah itu
Dari depan akan tampak sederhana
Tapi kebunnya luas, tanamannya mewah, megah

Hadinata ikut mendengarkan dengan saksama setiap lirik yang berada di lagu tersebut. Pendengarannya juga sesekali menangkap suara Esha yang ikut bersenandung. "Kenapa kamu suka lagu ini?"

Esha mengalihkan pandangannya ke arah Hadinata. "Liriknya bagus, diksi yang dipakai sederhana tapi buat saya artinya jauh dari kata sederhana."

"Apa yang kamu interpretasikan dari lirik lagunya?" tanya Hadinata terlihat sangat tertarik.

"Pertama kali dengar saya langsung jatuh cinta sama lagunya. Rumah di sini juga punya banyak arti kan, Mas. Dari bagian pertama lagunya buat saya pribadi semacam ada harapan dan rencana buat mewujudkan rumah yang dimaksud." Esha mengubah posisi duduknya menjadi menyamping, memudahkannya untuk menatap Hadinata yang sedang menyetir. Bagaimana orang yang sedang menyetir bisa terlihat sangat tampan.

"Kamu melihatnya rumah itu sebagai apa? Apa rumah secara harfiah? Atau kamu mengartikan yang lain?"

Esha membasahi bibirnya. "Rumah menurut saya, secara harfiah iya dan menurut saya rumah juga berarti orang yang dikasihi."

Kita usahakan rumah itu
Dari depan akan tampak sederhana
Tapi dibuat kuat, dirancang muat, lega

"Seperti rumah pada umumnya pasti perlu pondasi yang kuat biar rumah itu tetap berdiri kokoh kan, Mas? Buat saya seperti itu juga hubungan saya dengan orang yang saya sebut rumah. Ada kasih sayang, kepercayaan, toleransi sebagai pondasinya. Bukan cuma itu aja tapi banyak yang lainnya," ujar Esha sembari membayangkan orang-orang terdekatnya. Tempatnya pulang, tempatnya kembali entah sejauh apa pun ia melangkah.

Untuk sesaat keduanya bergeming, tidak ada suara percakapan hanya suara dari radio yang terus berputar. Zio pun semakin terlelap dalam tidurnya tidak sedikit pun terganggu dengan guncangan ketika mobil harus melewati belokan yang cukup tajam atau suara kedua orang di kursi depan yang sejak tadi memenuhi seluruh mobil. Kepala Hadinata mulai memikirkan banyak hal, apa orang-orang yang dikasihinya bisa ia sebut dengan rumah? Hadinata menyayangi kedua orang tuanya tentu saja, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai rumah. Seharusnya rumah bisa dijadikan tempat berbagi cerita yang penuh dengan penerimaan dan cinta bukan? Menjadi salah satu sumber bahagia bukan luka. Jelas kedua orang tuanya tidak termasuk ke dalamnya.

Bagaimana dengan Zio? Apa Zio bisa dia sebut sebagai rumahnya? Pikirannya kembali ke pertama kali ia melihat Zio. Terlihat begitu mungil dan rapuh hingga Hadinata tidak berani menyentuhnya bahkan dengan seujung jari. Perasaannya menghangat ketika pertama kali mendengar suara tangis Zio yang menggema, untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasakan jatuh cinta. Perasaan ingin menjaga dan melindungi Zio begitu dominan ia rasakan. Berbagai doa dan harapan tidak lupa ia ucapkan. Sampai saat ini Zio menjadi alasannya untuk tetap hidup sesulit apa pun hari yang harus ia lewati dengan berbagai ketakutan yang terkadang muncul. Jika itu semua bisa dijadikan alasan, maka Hadinata akan dengan lantang menyebutkan bahwa Zio adalah rumahnya.

Urusan perabotan dan wangi-wangian
Kuserahkan pada s'leramu yang lebih maju
Tapi tata ruang aku ikut pertimbangkan
Kar'na kalau nanti kita punya kesibukan
Malam tetap kumpul di meja panjang
Ruang makan kita
Berbincang tentang hari yang panjang

"Saya baper banget, Mas kalau denger lagu ini. Berasa saya yang diajak berumah tangga," ucap Esha sembari mengguncang lengan kiri Hadinata.

"Lucu ya, di lagunya bilang kalau perihal perabotan sama wangi-wangian boleh perempuannya yang pilih karena laki-lakinya tau selera si perempuan ini lebih bagus dibanding dia. Saya boleh gak ya nanti milih kaya gini?" tanya Esha entah kepada siapa.

Hadinata menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Netranya melihat ke arah Esha yang sedang tersenyum. "Boleh kalau sama saya."

Kedua bola mata Esha membulat secara sempurna tampak begitu terkejut dan Hadinata menikmati setiap perubahan ekspresi yang ditampilkan oleh Esha. Sudut bibirnya ia tahan sebaik mungkin agar tidak menimbulkan senyum yang berlebihan. "Saya juga mau dilibatkan buat tata ruangnya karena saya harus pastiin semuanya aman kan."

Hadinata kembali melajukan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau dan suara klakson mulai saling bersahutan di belakangnya meminta kendaraan yang di depannya untuk segera berjalan.

"Biasanya sebelum tidur saya selalu bercerita berdua aja sama Zio. Dan saya rasa gak ada salahnya kalau orangnya bertambah," ucap Hadinata dengan pandangan lurus ke depan.

Jangan tanya kondisi jantung Esha saat ini. Demi tuhan suara detaknya begitu kencang. Wajahnya juga terasa memanas. Sial, lain kali ia harus mulai menjaga ucapannya.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now