Dua Puluh Satu

208 15 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Suasana malam ini jelas bukanlah sesuatu yang Esha sukai. Telapak tangannya terus berkeringat sejak tadi, jantungnya pun berdetak dengan kencang. Hadinata dan Zio sudah kembali ke rumahnya sejak tadi, tetapi gugup yang ia rasakan tidak kunjung reda. Di hadapannya Yuna terlihat duduk dengan tenang. Pandangannya menyapu seluruh ruangan memperhatikan berbagai barang yang kini memenuhi ruang tamu Esha.

Sunyi di malam hari biasanya membuat Esha tenang, tetapi kesunyinan malam ini terasa begitu mencekam. Entah berapa kali ia membasahi bibir dengan kedua kaki yang terus bergerak. Terlalu terlihat jika ia sedang gugup. Kepalanya terasa begitu penuh dengan berbagai pertanyaan. Otaknya pun memerintahkan untuk segera berbicara. Namun, setiap ia membuka bibirnya, suara itu tak kunjung keluar hanya hela napas yang terdengar.

"Kita harus mulai rapihin barang kamu dari mana?" tanya Yuna setelah sekian lama hanya bergeming. Netranya menatap Esha yang tersentak di tempatnya.

"Kakak mau bantuin aku? Ini udah malem, Kak. Vela gimana?" tanya Esha kembali setelah berhasil mengatur nada suaranya.

Yuna mencondongkan tubuhnya, kedua sudut bibirnya tertarik membuat segaris senyuman. "Vela udah tidur dan aku memang ke sini buat bantuin kamu. Ada Azri juga yang temani Vela jadi kamu gak perlu khawatir."

"Beneran gapapa?"

"Iya," jawab Yuna tanpa ragu.

Esha membasahi bibirnya, tanganya saling bertautan satu dengan yang lainnya. Perasaannya tidak kunjung membaik setelah Yuna berbicara. Sesuatu yang ia tahan sejak tadi terus saja mengganggu fokusnya. "Apa Kak Yuna gak mau tau perihal aku dan Mas Nata?" Esha berhasil mengajukan pertanyaan yang sejak tadi membuatnya gusar.

"Apa kamu mau untuk cerita? Aku gak akan maksa kamu kalau kamu belum mau cerita."

Ragu, gugup, takut menjadi perasaan yang begitu dominan Esha rasakan. Keinginan untuk bercerita tentu ada, tetapi bagaimana jika Yuna akan memarahinya setelah ini? Bagaimana jika Yuna tidak setuju dengan segala hal yang Esha lakukan. Ia tidak siap untuk segala kemungkinan terburuk. Esha sadar jika yang saat ini ia jalani sangatlah tidak biasa. Menjalin hubungan pura-pura untuk mendapatkan nominal uang. Awalnya memang seperti itu, tetapi siapa sangka bila akhirnya Esha kalah dengan perasaannya. Siapa yang berpikir jika perjalanannya akan berubah seperti ini? Apa bersama Zio dan Hadinata ada ke dalam rencananya? Tentu tidak saat itu, ya, saat itu.

Bila dipikiran kembali bukankah yang dilakukan Esha cukup jahat? Zio menyukainya, Esha dapat melihatnya dengan jelas. Jika nantinya dia berpisah dengan Hadinata setelah kontrak berakhir bagaimana dengan Zio. Bukankah ia akan melukai perasaannya? Tentunya dampak seperti ini tidak terpikirkan olehnya ketika memutuskan untuk menjadi pasangan kontrak. Namun, kini siapa yang menyangka jika dalam hitungan detik keadaan bisa berubah.

"Aku takut Kak Yuna marah," lirih Esha dengan pandangan mengarah lurus ke bawah. Ia tidak memiliki keberanian untuk menatap sang lawan bicara.

Yuna berpindah tempat, bergabung di satu sofa yang sama dengan Esha. Tangannya menggenggam tangan Esha yang terus saja terkepal. "Esha, takut itu wajar kalau kamu masih belum mau cerita gak perlu dipaksa. Dan satu hal yang harus kamu tau aku gak akan marah. Kalau kamu siap untuk cerita aku bakal dengerin cerita kamu dan rasanya gak tepat kalau aku marah tanpa tau alasan kamu melakukan hal tersebut kan."

Tangan Yuna bergerak mengusap tangan Esha. Kepala Esha terangkat, menatap Yuna yang juga menatapnya dengan penuh penerimaan. Meyakinkan dirinya, Esha mulai mengatur napasnya sebelum mulai bercerita mengenai informasi pekerjaan dari Lyra, pertemuan pertamanya dengan Hadinata dan Zio, bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, berlibur, hinga pertemuan Esha dengan Lina. Semuanya ia jelaskan secara rinci dari awal hingga akhir. Yuna tidak memotongnya ia hanya sesekali mengangguk mengerti atau tersenyum kecil ketika Esha bercerita mengenai hari-hari yang mereka lalui. Dan satu hal yang disimpulkan oleh Yuna, Esha sangat menyukai perannya.

Mengungkapkan segala hal yang selama ini ia simpan nyatanya cukup membuat perasaannya membaik. Esha merasakan kelegaan, setidaknya ia tidak perlu lagi menghindar Yuna ketika membahas mengenai kesehariannya atau dengan siapa ia akan pergi. Membagi cerita terkadang memang tidak menyelesaikan masalah, tetapi membuat perasaanmu jauh lebih tenang. Dan mendengarkan seseorang bercerita pun bukanlah perkara yang mudah. Esha beruntung memiliki Yuna yang mau mendengarkan ceritanya tanpa memotongnya, membandingkan, bahkan menasehati. Karena terkadang seseorang hanya ingin didengar.

"Aku seneng, kamu bisa bahagia bareng Zio dan Pak Hadinata terlepas dari gimana kamu memulai hubungan ini. Keputusannya nanti ada di kamu Esha, aku tau kamu juga sadar mengenai konsekuensi yang nantinya akan kamu dapat dan mungkin hal ini juga gak akan mudah. Bukannya selama ini kamu juga udah belajar? Dan kamu pasti tau ada tanggung jawab yang harus kamu lakukan terhadap pilihan kamu." Yuna menepuk tangan Esha yang saling mengatup.

Esha tersenyum cerah, tetapi matanya tampak berkaca-kaca. "Kak Yuna makasih," ucap Esha sembari memeluk Yuna.

"Nangis gapapa kok, gak ada yang salah sama nangis." Yuna menepuk punggung Esha perhalan, membiarkannya meluapkan berbagai emosi yang selama ini tidak ia bagikan.

Esha mengeratkan pelukannya. "Kaya Bunda. Dulu Bunda selalu bilang kaya gitu. Gapapa nangis karena gak ada yang salah dengan menangis."

Yuna mengusap rambut Esha yang terurai ketika merasakan bahunya terasa basah. Dia mengerti selama ini Esha merasa takut jika hal ini diketahui oleh keluarga. Perasaan ini pasti membuatnya tidak nyaman. Pertemuan mereka yang mendadak pun membuat Esha terkejut, beberapa kali ia dapati Esha mengerakkan kakinya, membasahi bibirnya, dan membuat berbagai gerakan untuk mengurangi rasa gugupnya. Esha tentu tak siap dengan keadaan yang begitu tiba-tiba.

"Mau aku buatin minuman?" tanya Yuna setelah tangis Esha mereda dan pelukan keduanya terurai.

"Maaf aku jadi nangis gini malem-malem. Aku aja, kan Kakak tamu masa Kakak yang buatin minuman. Kakak mau apa?" Esha berdiri membawa gumpalan tisu yang ia gunakan untuk menghapus air matanya, hendak membuangnya di tempat sampah dapur sekaligus membuat minuman untuk keduanya.

"Karena kita mau beresin ini semua, gimana kalau es sirop?" Yuna mengedarkan pandangannya ke segala penjuru yang tidak berubah sejak keduanya menginjakkan kaki ke ruang tamu. Esha ikut menatap berbagai barangnya sebelum akhirnya mengangguk dan menuju dapur, membiarkan Yuna yang mulai membuka tas berisi oleh-oleh untuk dimasukkan ke dalam paper bag supaya besok Esha lebih mudah untuk membaginya.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang