Tiga Puluh Lima

568 46 1
                                    

Suasana ruang keluarga yang sebelumnya penuh tawa mendadak hening. Seluruh pasang mata menatap satu titik yang sama. Televisi. Pemberitaan yang baru saya disampaikan membuat siapa pun yang melihatnya turut berduka. Tak ada satu orang pun yang siap dengan berita kehilangan. Bahkan jika seseorang tau kapan ia harus kehilangan, ia tak akan pernah siap untuk itu. Kehilangan bukan sesuatu yang mudah. Kehilangan selalu beriringan dengan kata merelakan. Merelakan bukanlah sesuatu yang dalam sekejap bisa dilakukan, ketika seseorang berucap untuk merelakan apakah seseorang yang kehilangan akan benar-benar merelakan hanya dengan kalimat seperti itu? Merelakan itu perihal waktu, entah itu hitungan hari, minggu, bulan, hingga puluhan tahun berlalu belum tentu seseorang akan benar-benar mampu merelakan.

Esha mengeratkan pegangan tangannya begitu melihat nama pesawat yang kini tertera di layar kaca. Salah satu maskapai yang semua orang ketahui, tetapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar. Tangannya bergerak mengambil ponsel yang sejak tadi tidak ia sentuh. Berdiam beberapa saat sebelum memutuskan membuka sebuah file berisi jadwal penerbangan yang sebelumnya pernah ia terima.

Jarinya berhenti bergulir ketika menemukan jadwal hari ini. Tangannya gemetar dan jantungnya semakin berdebar. Berkali-kali memastikan jika apa yang dilihatnya salah. Tubuhnya meluruh begitu saja dan tangannya tidak lagi mampu menahan ponselnya untuk tetap berada di dalam genggaman.

Suara benda jatuh membuat Azri dan Yuna menolehkan kepalanya. "De, kamu kenapa?" tanya Azri.

Esha menggeleng dengan pandangan lurus ke depan. "Tolong ... tolong lihat itu."

Azri mengambil ponsel Esha yang terjatuh. Matanya ikut membaca setiap detail informasi yang berada di ponsel Esha kemudian beralih ke televisi. "Ini?"

"Aku salah lihat kan? Beda kan nomor penerbangannya?"

Esha berdiri mendekati Azri dengan langkah lunglai yang kini ikut terdiam.

"Kak Yuna, beda kan itu?" tanyanya lagi memastikan. Pun Yuna hanya bergeming dengan pandangan yang sepenuhnya mengarah ke Esha.

"Itu punya Mas Nata. Yang diberitain bukan Mas Nata kan pilotnya?"

Seolah tak terdengar, pertanyaan Esha tidak juga mendapatkan jawaban. Televisi masih terus menyala dengan berita yang sama. Suara jurnalis yang terdengar membuat Esha semakin tercekat. Satu tetes air mata dengan cepat dihapusnya, ia tidak akan membiarkan dirinya menangis. Hadinata akan baik-baik saja sehingga ia tidak perlu menangis. Ya, semua akan baik-baik saja.

"Kenapa pada diem? Aku salah lihat kan."

"Esha." Azri berdiri menatap Esha yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Bang Azri kan pilot juga, pasti Bang Azri ngerti. Bukan kan, itu pesawat yang beda kan?" Pandangan Esha semakin mengabur, kakinya melemas dan tubuhnya meluruh tidak lagi sanggup untuk tetap mempertahankan posisinya. Tangan Esha mencengkram baju Azri erat menjadikannya sebagai pegangan ketika Azri menahan tubuhnya supaya tidak terjatuh.

"Bang Azri jawab. Bilang kalau itu bukan." Azri mengatupkan bibirnya rapat tidak ingin membuka suara sedikit pun.

"Bang Azri, tolong jawab," lirih Esha dengan air mata yang kini mulai membasahi kedua pipinya.

"BANG AZRI JAWAB."

Esha mengguncang kedua bahu Azri dengan tangan bergetar hebat. Pandangannya memburam seiring dengan air mata yang semakin luruh tanpa bisa ia kendalikan.

"Aku cuma mau denger kata bukan," ujar Esha dengan isak tangis yang mulai terdengar.

"De tenang dulu, beritanya baru rilis dan kita belum tau siapa pilotnya," ucap Azri sembari menarik Esha ke dalam pelukannya. Memeluknya erat.

"Gimana aku bisa tenang? Jadwal dan nomor penerbangannya sama. Bang Azri tolong bilang itu bukan Mas Nata." Azri semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku belum bilang kalau aku udah maafin Mas Nata. Aku belum bilang kalau aku udah gak marah lagi sama Mas Nata. Aku bahkan belum pernah bilang kalau aku sayang dia," lirih Esha.

"Bang Azri aku gak mau ditinggalin, aku gak mau kehilangan lagi."

Esha lupa bagaimana caranya bernapas dengan normal, kepalanya semakin memberat dengan bibir yang terlihat bergetar.

Esha membiarkan Azri sepenuhnya untuk menopang tubuhnya yang semakin melemah. Bukan, bukan akhir seperti ini yang Esha inginkan. Sejak awal memang bukan perpisahaan yang ia inginkan, entah perpisahan dengan cara apa pun.

The Right Woman On The Right Place [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن