Tiga Puluh Delapan

566 66 1
                                    

Terakhir kali Esha bertemu dengan Lina pertemuan tersebut tak berakhir dengan baik. Pertemuan tersebut pula yang membuat hubungannya dengan Hadinata merenggang. Seharusnya Esha menolak begitu Lina memintanya untuk bertemu. Namun, Esha tak ingin selamanya menghindari sesuatu yang ia pikir adalah masalah. Ketika ia memilih untuk kembali bersama Hadinata dan Zio bukankah hal ini pasti akan terjadi cepat atau lambat? Lagi pula Esha ingin memiliki hubungan yang baik dengan orang tua Hadinata.

Selepas bekerja ia menunju salah satu restoran yang letaknya tidak jauh dari gedung kantornya. Hanya perlu waktu delapan menit jika menggunakan kendaraan. Esha tersenyum singkat dan menyapa Lina yang sudah terlebih dahulu tiba. Gugup mulai ia rasakan, walaupun ia menyetujui bukan berarti tak ada perasaan gugup ketika harus bertemu kembali.

"Silakan pesan makanannya, Esha." Lina menunjuk buku menu yang baru saja diberikan oleh seorang pramusaji. Dengan begitu terampil pramusaji tersebut menjelaskan beberapa makanan yang sangat direkomendasikan di restoran ini.

Lina bergeming begitu pula Esha. Hanya suara beberapa pelanggan lain yang terdengar. Sedangkan keduanya sibuk berkelana dengan pikiran masing-masing. Esha ingin membuka pembicaraan, tetapi terasa sulit untuk sekadar bersuara.

"Esha."

Panggilan tersebut sontak membuatnya menatap Lina yang duduk dengan anggun di hadapannya.

"Saya tau mengenai semua yang terjadi dengan kamu, Hadinata, dan Zio," ucap Lina membuat Esha mengerutkan keningnya. Sejauh apa yang Lina ketahui?

"Kamu ingat, waktu pertama kali saya bertemu kamu saya bilang ke kamu jangan salah paham. Saya bukannya tidak menyukai kamu."

Esha ingat tentunya ia tidak mungkin melupakan pertemuannya dengan Lina kala itu. Bahkan Esha dapat dengan mudah membayangkan juga merasakan betapa gugupnya ia.

"Ingat, Bu," balas Esha.

Lina meletakkan tangannya di atas meja. "Sampai saat ini hal itu tidak berubah."

"Kamu ingat selain itu saya bicara apalagi ke kamu?"

Esha tidak mengerti maksud pembicaraan ini, tetapi ia tetap menjawabnya. "Mengenai keberhasilan hubungan kami."

"Kamu tau kenapa saya bicara seperti itu?"

"Karena usia saya yang berjarak cukup jauh dengan Mas Nata dan kami yang belum lama saling mengenal."

Lina tersenyum mendengarnya kemudian menggeleng. Bukan itu yang membuatnya meragukan hubungan keduanya. Ia sadar betul jika lamanya waktu tidak akan bisa dijadikan sebagai tolok ukur. Menjalin hubungan bukan mengenai seberapa lama bersama. Jika seperti itu bukankah lebih baik kita bersama dengan teman kita yang sudah puluhan tahun menemani? Bukankah lebih mudah bagi keduanya menjalani hubungan karena lamanya waktu yang dilalui bersama. Jika karena waktu juga seharusnya tidak ada perpisahaan bagi mereka yang telah hidup puluhan tahun bersama.

Tangan Esha mengatup di bawah meja. Khawatir mulai ia rasakan. Jika bukan karena hal tersebut lantas apa?

"Setelah tau jika putra saya menjalankan hubungan kontrak selama satu bulan apa saya masih bisa bersikap biasa saja?"

Esha tersentak. Tubuhnya membeku begitu Lina menatapnya dengan sorot sendu. Tidak pernah terpikir olehnya jika Lina mengetahui hal tersebut. Seharusnya hanya ia, Hadinata, Daffa, Lyra, dan Sania yang mengetahuinya.

"Ketika kalian menjalankan hubungan seperti itu berapa besar kemungkinan berhasilnya? Saya tau kenapa Hadinata melakukan hal tersebut. Tapi bagaimana dengan Zio? Bagaimana dengan kalian juga? Apa kalian tidak berpikir jika bisa saja kalian terjebak di dalam hubungan yang kalian buat sendiri?" Lina menggucapkannya dengan jelas dan tenang, tetapi Esha masih melihat tatapan yang sama.

"Saya menyayangi Hadinata begitu juga Zio. Ketika Zio bercerita tentang kamu saya ikut merasa senang. Setiap hari Esha, bisa kamu bayangkan setiap hari kamu selalu berada di dalam pembicaraan kami. Tapi setelah itu saya tau jika hubungan kalian tidak seperti itu. Saya kecewa dan saya berpikir bagaimana untuk menghentikan semuanya di awal. Saya tidak ingin Zio nantinya bersedih. Saya juga tidak ingin kamu dan Hadinata kesulitan nantinya."

Lina mengembuskan napasnya. "Saya memutuskan untuk bertemu kamu saya pikir setelah itu kalian tidak akan berhubungan lagi, tetapi saya salah."

"Saya ...."

Suara Esha terdengar bergetar, wajahnya mendadak pias. "Saya, minta maaf," cicitnya.

"Awalnya saya tidak berpikir sejauh itu, saya pikir waktu satu bulan singkat dan tidak akan ada banyak perubah. Saya salah mengenai hal tersebut. Saya minta maaf," kata Esha, "tapi saya menyayangi Zio dan itu bukan kebohongan," lanjutnya.

"Saya tau." Lina menggenggam tangan kiri Esha yang diletakkan di atas meja menepuknya beberapa kali kemudian mengusapnya membantu menenangkan Esha yang terlihat kalut.

"Sekarang saya mengerti dan saya tidak keberatan jika suatu hari nanti Hadinata memilih bersama kamu. Terima kasih karena sudah menjadi sosok mama yang selalu Zio cari dan terima kasih untuk menemani Hadinata selalu."

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang