Tiga Puluh Sembilan

464 48 1
                                    

Dalam teorinya Carter & McGoldrick menjelaskan enam karakteristik utama mengenai gambaran tahapan yang akan terjadi dan dialami mayoritas keluarga atau biasa dikenal dengan sebutan family life cycle.

Mungkin kehidupan ini tak akan selalu sejalan dengan teori-teori yang telah dijelaskan, tetapi bukankah hal ini cukup untuk menjadi pertimbangan ketika seseorang memutuskan membangun kehidupan keluarga? Bayangkan berapa banyak orang yang harus menghadapi akibat dari ketidaksiapannya menjadi orang tua dan berapa banyak anak yang harus ikut serta merasakan dampaknya. Bukankah seorang anak tidak bisa menentukan lahir dari orang tua yang seperti apa?

Hadinata menatap figura yang menampilkan sosok dirinya ketika berusia 10 tahun lengkap dengan kedua orang tuanya di sisi kanan kirinya. Gambaran keluarga bahagia bagi mereka yang melihatnya dalam sekali pandang, tetapi tidak bagi Hadinata yang merasakannya. Entah berapa banyak tekanan yang harus ia rasakan bahkan pengabaian ikut serta ia terima ketika dianggap tidak dapat memenuhi harapan mereka.

"Nata."

Mengalihkan pandangannya ke arah depan. Hadinata menatap Dierja dan Lina yang duduk bersisihan. Hari ini menjadi kali kedua Hadinata berkunjung ke rumah orang tuanya setelah sekian lama menghindar. Beberapa hari yang lalu ia juga mengunjungi rumah ini setelah pemberitaan pesawat menyebar luas, duduk di tempat yang sama dengan suasana berbeda.

"Saya mau bicara, sebenarnya hal ini sudah saya sampaikan," ucap Hadinata mengawali menit yang sebelumnya hanya diisi keheningan.

"Mengenai saya yang gak pernah bisa menyampaikan ini kepada kalian." Hadinata mengatur napasnya sebelum kembali berbicara.

"Apa kalian ingat ketika saya masih kecil saya selalu mengikuti apa pun yang kalian minta. Dari pagi sampai malam bahkan di hari libur saya mengikuti berbagai kegiatan yang sudah dijadwalkan. Saya tidak menolak saat itu, tetapi saya tidak benar-benar menyukai hal tersebut. Kenapa saya gak menolaknya? Saya pernah bilang tapi saat itu papa bilang, 'Ini demi kebaikan saya.' Juga sesuatu yang terbaik untuk saya," ujar Hadinata sembari menatap tepat ke mata Dierja.

"Mungkin kalimat itu terdengar biasa saja bagi papa dan mama atau mungkin sebagian orang tapi tidak untuk saya saat itu. Saya juga pernah meminta mengikuti kegiatan lain yang saya sukai tapi respons yang saya terima adalah penolakan. Saya merasa tidak memiliki kesempatan untuk memilih karena semua sudah papa tentukan."

Lina menggeratkan genggaman tangannya yang saling bertautan. Menatap nanar Hadinata yang terlihat begitu terluka.

"Terus berlanjut sampai saya remaja, tuntutan yang saya dapatkan semakin banyak. Saya sempat berpikir jika saya memiliki saudara kandung apa hal ini bisa berkurang. Yang selalu ada di kepala saya adalah saya tidak boleh gagal, saya tidak bisa mengecewakan kalian, dan saya harus selalu sempurna. Saya menghabiskan masa remaja dengan ketakutan akan kegagalan."

"Sampai akhirnya saya memiliki satu impian, yaitu menjadi pilot. Meskipun tidak disetujui saya tetap memutuskan untuk melanjutkannya. Alasannya papa sendiri tau, supaya saya bisa melakukan hal yang benar-benar saya inginkan. Setidaknya satu kali dalam hidup saya, saya mencoba untuk meraih sesuatu yang memang saya inginkan. Alasan lainnya supaya saya tidak harus sering-sering bertemy dengan papa dan mama. Supaya saya tidak harus berkonflik dengan diri sendiri ketika harus berhadapan dengan kalian. Saya bicara mengenai hal ini untuk saya pribadi. Saya merasa jauh lebih baik jika saya sudah menyampaikan ini secara langsung. Saya terdengar egois tapi saya harap kalian mengerti dengan keputusan saya. Saya juga ingin memulai sesuatu yang baru dan saya merasa perlu menyelesaikan hal ini."

Dierja bergeming. Sejak Hadinata membicarakan hal ini saat mereka berkirim pesan sudah cukup membuat ia merasa bersalah. Ternyata perasaan bersalah itu jauh lebih besar ketika Hadinata membicarakannya secara langsung dan berada di hadapannya. Apa yang menurutnya baik nyatanya tidak memberikan kenyamanan bagi anaknya. Kalimat sederhana yang diucapkan ternyata menimbulkan bekas berkepanjangan.

"Hadinata," panggil Dierja, "Papa tau ini terlambat dan mungkin gak akan menghilangkan semua kecewa yang kamu rasakan. Gak juga mengubah hal-hal yang udah kamu lalui."

Hadinata ikut menunggu kalimat selanjutnya dengan jantung berdebar.

"Papa minta maaf untuk segala yang papa lakukan dan membuat kamu punya pikiran seperti itu. Kamu harus tau kalau papa bangga sama kamu Nata, walaupun papa gak bilang ke kamu. Sejak dulu papa selalu bangga dengan kamu."

The Right Woman On The Right Place [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora