Tiga Puluh Satu

573 48 9
                                    

Pertemuan di antara dua keluarga tepat seperti yang ada dibayangan Hadinata. Rasanya begitu canggung setelah beberapa tahun tidak pernah saling sapa, tetapi kini duduk bersama di satu meja membahas berbagai hal seolah tidak terjadi apa pun. Bukankah orang-orang ini begitu hebat dalam bermain peran? Terlihat begitu terbuka dan bahagia ketika bertemu dan saling menerima juga memaafkan. Hadinata tidak termasuk ke dalamnya. Sebut saya pendendam, tetapi tidak mudah bagi Hadinata selama ini. Menjadi seorang ayah yang juga berperan sebagai ibu. Hadinata tau berapa kali pun ia mencoba untuk menjadi sosok ibu bagi Zio ia tak akan pernah mampu. Tidak akan sama. Kini seolah tidak terjadi apa pun mereka terlihat bahagia ketika bisa saling bertatap muka yang kata mereka adalah cucu kebanggaan.

Hadinata berkali-kali menoleh ke arah Zio yang terlihat jauh lebih pendiam daripada biasanya. Zio tidak menangis ketika bertemu dengan mamanya juga keluarga lainnya. Tidak juga terkejut. Hadinata begitu sulit menebak apa yang Zio rasakan. Apakah Zio tidak bahagia ketika akhirnya bisa bertemu dengan mama yang selalu ia tanyakan? Elin pun serupa tidak banyak bicara hanya menatap Zio dengan penuh rasa bersalah.

Percakapan penuh kebahagian karena kedua keluarga yang kembali berkumpul telah berakhir beberapa menit yang lalu. Para orang tua memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing menyisakan Hadinata, Zio, dan Elin. Katanya ini perlu dilakukan karena ketiganya pasti memerlukan waktu untuk saling berbicara.

"Zio suka cake ini?" tanya Elin menatap Zio yang fokus melahap kue di hadapannya.

"Iya, tapi lebih suka kue di kanacake." Zio menatap mata Elin sejenak sebelum kembali melanjutkan kegiatannya.

Elin mengembuskan napasnya. Zio masih mau menjawab pertanyaan darinya bahkan ia tetap memanggilnya mama. Namun, Elin sadar jika ada jarak di antara mereka. Zio terlihat tersenyum ketika pertama kali bertemu dengannya juga sebuah pelukan ia dapatkan. Entah mengapa terasa benar, tetapi kosong. Mungkin Zio perlu waktu untuk terbiasa dengan dirinya dan Elin berjanji akan selalu menunggu selama apa pun itu.

Elin tidak boleh putus asa, dengan bibir yang membentuk senyuman ia kembali memusatkan perhatiannya. "Mama baru beberapa hari ini di sini. Belum tau kanacake, apa Zio mau ke sana nanti sama Mama? Mama juga mau cobain kue di sana."

Kepala Zio menoleh ke samping, menatap Hadinata meminta persetujuan. "Boleh," jawabnya setelah Hadinata menganggukan kepalanya pelan.

Beberapa sekon berganti menjadi menit hingga makanan yang berada di atas meja habis tak tersisa. Elin masih ingin berlama-lama, tetapi melihat Zio yang terlihat mengantuk mengurungkan niatnya. Hadinata segara mengajak Elin ikut serta. Tentunya ia tidak akan tega membiarkan Elin pulang sendiri setelah bertahun-tahun meninggalkan Jakarta. Perkembangan transportasi hingga infrastruktur yang ada saat ini tentu akan membuat Elin merasa asing. Hadinata bisa saja memesakan transportasi online untuk Elin, tetapi tidak ia lakukan.

"Pertama kali sampai Jakarta aku kaget banget banyak ojek online." Elin membuka percakapan. Matanya menatap Hadinata dan sesekali beralih ke Zio yang langsung terlelap begitu mobil keluar dari pelataran parkir restoran.

"Ya, beberapa tahun ini ojek online sangat berkembang." Tangan Hadinata bergerak membuka jendela setelah sebelumnya mengambil beberapa lembar uang.

Hadinata tersenyum begitu jendela mobil terbuka. "Beli tisunya tiga. Ini uangnya gak perlu dikembaliin, buat kamu aja."

Elin mengerutkan keningnya begitu mobil kembali melaju. "Ini kamu ada tisu, kenapa beli lagi?"

"Biar nanti aku gak perlu beli lagi kalau yang ini habis," ujar Hadinata sekenanya. Hadinata mengingat seseorang begitu melihat anak kecil penjual tisu. Perempuan itu dengan semangat membeli tisu yang sebenarnya tidak ia perlukan. Bahkan ia bercerita mengenai pandangannya mengenai anak kecil yang terpaksa harus bekerja padahal yang seharusnya ia lakukan adalah bersekolah dan bermain dengan teman seusianya. Saat itu ia menyukai cara perempuan itu berbicara dan rasanya ia tidak keberatan jika harus mendengar perempuan itu bercerita sepanjang jalan.

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now