Tiga Puluh Empat

593 38 0
                                    

Esha menatap pintu rumah yang ia pikir tak akan lagi pernah ia kunjungi. Beberapa saat yang lalu ketika mendengar bahwa Zio sakit yang ada di kepalanya hanyalah bertemu dengan Zio sesegera mungkin. Rindu dan cemas membuat dadanya kian terasa sesak. Setelah sekian lama tidak bertemu, kenapa harus saat Zio mengalami sakit? Tidakkah ada pertemuan yang lebih baik dibandingkan situasi sekarang. Namun, ia tak bisa mengeluh bagaimanapun halnya ia masih bisa bertemu dengan Zio saat ini.

Bunyi pintu yang terbuka membuat Esha mendongakkan kepalannya. Untuk sesaat pandangan keduanya saling bertemu. Tidak lagi bertemu seakan membuat kedunya lupa bagaimana cara saling bertukar sapa. Bergeming dengan berbagai perasaan yang tidak bisa diungkap melalui kata. Akan tetapi, netra keduanya tak dapat berbohong bahwa kerinduan itu ada dan sama besarnya.

Memutuskan kontak keduanya, Esha memalingkan wajah. Tak seharusnya mereka saling berpandangan selama itu.

"Zio ada di mana?" Menjadi kalimat pertama yang ia ucapkan.

Menggeser tubuhnya, Hadinata membuka pintu semakin lebar. Mempersilakan Esha untuk menemui Zio.

"Ikut saya."

Suara langkah kaki menjadi satu-satunya yang dapat didengar oleh indra pendengar. Esha mengikuti Hadinata yang berjalan terlebih dahulu mengarah ke kamar Zio. Esha pernah mengunjungi kamar Zio dan ia tak mungkin salah jika saat ini Hadinata tengah membawanya ke sana. Setibanya di depan pintu berwarna putih Hadinata membalikkan tubuhnya menghadap Esha. "Zio di dalam."

Menganggukkan kepalanya Esha maju dan mengetuk pintu tersebut. "Zio ini Kak Esha." Tak ada balasan apa pun. "Kak Esha masuk, ya." Dengan perlahan Esha membuka pintu dan mendorongnya perlahan.

Pandangannya mengarah lurus ke arah ranjang. Zio tertidur dengan posisi meringkuk serta selimut yang melingkupinya. Menatap Hadinata sekilas Esha melangkah mendekati Zio. Sedikit ragu ia mengusap kening Zio kemudian tersentak dan menarik tangannya dengan cepat.

"Mas Zio panas banget," cicit Esha dengan mata yang tidak beralih sedikit pun dari Zio. Perasaannya semakin cemas begitu melihat Zio yang mengerutkan kening di dalam tidurnya.

"Iya karena itu saya minta kamu ke sini. Saya takut Zio kenapa-kenapa. Zio menolak meminum obat, dia juga tidak mau ketika saya ajak ke rumah sakit. Semua orang terdekatnya sudah coba bujuk Zio tapi dia tetap gak mau. Tolong bantu saya bujuk Zio, Esha," harap Hadinata dengan wajah memohonnya. Ia sudah kehabisan cara untuk membawa Zio ke rumah sakit.

Esha menatap Hadinata yang terlihat sama cemasnya. "Saya coba, Mas." Hadinata tersenyum singkat sebagai ucapan terima kasih.

"Zio, ini Kak Esha." Esha mengusap pipi Zio dengan ibu jarinya. Zio mengerjapkan matanya secara perlahan sebelum akhirnya terbuka secara sempurna.

"Kak Esha," lirih Zio dengan wajah sayunya.

"Beneran Kak Esha?" Meskipun pelan Esha masih dapat mendengarnya dengan jelas suara Zio. Demi tuhan ia sangat merindukan Zio.

"Iya ini Kak Esha. Zio kenapa? Kak Esha sedih kalau lihat Zio kaya gini." Entah sejak kapan air mata sudah membasahi pipinya. Tangannya bergerak untuk menghapusnya kemudian membantu Zio untuk duduk.

"Kangen Kak Esha." Zio menatap Esha membuat air mata yang sudah dihapusnya kembali meluruh. Esha mempersempit jarak keduanya sebelum merengkuh Zio ke dalam pelukkannya. Mendekapnya erat.

Zio membalas pelukan Esha jauh lebih erat membuat Esha dapat merasakan suhu tubuhnya yang hangat. "Kak Esha juga kangen banget sama Zio."

"Kak Esha jangan pergi lagi." Zio mengeratkan pelukannya.

Esha mengangguk. "Enggak Kak Esha gak akan pergi."

"Kak Esha gak akan pergi."

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang