Delapan Belas

241 16 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

"Mas, liat saya kaya ulet." Esha memutar tubuhnya memperlihatkan penampilannya yang terbalut jaket dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

Hadinata yang baru saja tiba dari dapur dengan secangkir teh di tangannya mengerutkan dahi melihat Esha yang berputar-putar. Meletakkan cangkir di atas meja yang tersedia Hadinata segera duduk dengan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Esha ikut menjatuhkan tubuhnya masih dengan selimut yang meliputi tubuhnya.

"Minum dulu tehnya tapi hati-hati karena masih cukup panas." Hadinata memberikan cangkir yang sebelumnya ia letakkan di atas meja. Tangan Hadinata terulur cukup lama karena Esha yang membenarkan posisi selimut yang ia gunakan supaya tangannya dapat menerima cangkir tersebut.

"Makasih banyak, Mas buat selimut dan tehnya," ucap Esha sembari menikmati teh dengan jahe yang membuat tubuhnya semakin hangat.

"Kemanisan?" tanya Hadinata.

"Enggak, ini pas kok manisnya. Enak deh, Mas gak mau?" Esha balik bertanya setelah mengubah posisi duduknya menjadi menyerong ke arah Hadinata.

"Saya gak terlalu suka teh. Kamu aja." Hadinata menggeleng.

Esha mengangguk mengerti. Suara hujan yang terdengar mengisi kesunyian malam hari ini. Televisi yang sebelumnya Esha nyalakan juga sudah ia matikan karena merasa bosan dan tidak ada satu pun tayangan yang menarik perhatiannya. Merapatkan selimutnya, Esha memiringkan kepalanya menatap Hadinata yang sedang menatap keluar kaca transparan yang memperlihatkan halaman belakang. Entah apa yang dipikirkan olehnya saat ini Esha tidak berkeinginan untuk mengusiknya.

"Ceritakan tentang kamu," ujar Hadinata setelah keheningan yang sebelumnya tercipta di antara keduanya.

"Gak mau, gak adil dong masa saya doang," tolak Esha dengan tubuh yang sudah sepenuhnya menghadap Hadinata. Kedua kakinya menekuk di atas sofa dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan bagi kepalanya.

"Gimana kalau kita main permainan. Secara bergantian sebutin satu hal nanti saya jawab begitu juga, Mas. Misalnya saya bilang nama lengkap berarti saya harus jawab dengan nama lengkap dan Mas juga gitu. Setelah itu giliran Mas, balik lagi ke saya, dan begitu seterusnya," jelas Esha dengan menaikan alisnya meminta persetujuan Hadinata.

"Boleh. Kamu mulai duluan." Hadinata membiarkan Esha untuk memulainya terlebih dahulu.

"Nama lengkap?" tanya Esha mengawalinya dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui jawabannya.

"Hadinata Mahawirya."

"Esha Fredella."

"Usia?" Kini giliran Hadinata yang mengajukan pertanyaan. Sama seperti Esha ia juga mengajukan pertanyaan yang jelas-jelas sudah ia ketahui semenjak Esha mengirimkan CV kepadanya.

"Tahun ini usia saya 28, Mas."

"Saya 35."

"Status?"

Hadinata mengernyitkan kening. "Kenapa kamu tanya status?"

Esha tertawa sekilas. "Suka-suka saya dong, Mas."

"Duda dan kamu udah tau pastinya." Esha tertawa puas melihat wajah Hadinata.

"Saya single tapi sebelumnya ada orang yang chat saya terus dia bilang kalau saya pasangannya," celetuk Esha asal karena mengingat ucapan Hadinata sebelumnya.

"Berarti kamu bukan single lagi. Jumlah mantan?"

"Males banget, kenapa tanya jumlah mantan saya gak punya mantan, Mas."

"Mantan saya satu," balas Hadinata membuat Esha terkesiap.

"Bohong masa Mas mantannya cuma satu?" Seolah tak percaya Esha mencondongkan tubuhnya ke depan. Mungkin saja pendengarannya terganggu kan apalagi suara hujan terdengar semakin jelas karena intensitasnya yang bertambah.

"Benar kenapa saya harus bohong?" Esha menyipitkan matanya mencari kebenaran dari ekspresi yang ditampilkan Hadinata.

"Ok saya percaya. Makanan kesukaan?"

"Saya suka semua makanan apalagi makanan pedas."

"Ih kok sama." Esha berseru saat mengetahui ia dan Hadinata memiliki kesamaan perihal makanan.

Permainan terus berlanjut dengan berbagai pertanyaan lainnya. Jarum jam yang terus berputar juga hujan yang bertambah deras tidak membuat keduanya kehilangan semangat untuk saling memberikan pertanyaan. Tiga puluh menit berubah menjadi satu jam. Satu jam berubah menjadi dua jam hingga tidak terasa malam semakin larut. Merasa waktu yang dilewati sudah terlalu lama Hadinata memutar tubuhnya menatap jam yang tertempel di dinding. Pukul setengah satu pagi dan Hadinata harus segera menghentikan permainan ini karena Esha perlu istirahat begitupula dengan dirinya. Cangkir yang sebelumnya terisi oleh teh milik Esha pun telah tandas sejak beberapa jam yang lalu menyisakan bercak di cangkir berwarna putih yang digunakan.

"Esha saatnya istirahat kamu pasti cape," ujar Hadinata dengan pandangan tepat ke bola mata Esha, "kita bisa hentikan permainannya, tapi kamu bisa bertanya sama saya kapan pun itu kalau ada sesuatu yang mau kamu ketahui. Cukup bertanya dan saya akan menjawabnya, Esha," jelasnya.

Hadinata mengulurkan tangannya membantu Esha berdiri untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Esha menghadap Hadinata setelah berhasil berdiri secara sempurna dengan selimut yang berada di pelukannya.

"Mas nundukan," pinta Esha. Hadinata menyatukan kedua alisnya merasa heran sebelum akhirnya merendahkan sedikit tubuhnya mengikuti permintaan Esha. Mencondongkan tubuhnya, dalam sekejap Esha mendaratkan bibirnya di pipi Hadinata memberi kecupan. Hanya dua detik, tetapi mampu membuat jantungnya berdetak kencang.

"Makasih banyak buat semuanya, Mas. Selamat malam." Esha berlari menaiki tangga dengan cepat. Sesampainya di kamar ia menghempaskan tubuhnya begitu saja dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sedangkan Hadinata hanya mampu membeku dengan kedua sudut bibir yang mulai tertarik.

"Sialan, bahkan itu hanya ciuman di pipi dalam hitungan detik. Kenapa jantungnya berdetak dengan tidak tahu diri?"

***

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang