Dua Puluh Delapan

165 15 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Tidak ada yang Esha lakukan selain menangis. Suara-suara di kepalanya terus saja mengelukan betapa kecewanya ia dengan segala hal yang terjadi. Keputusan untuk mempertahankan yang sebelumnya ia buat ternyata tidak mendapatkan balasan serupa. Beberapa orang bahkan menyalahkannya untuk kesalahan yang tidak ia lakukan, pun ia tidak juga memiliki kesempatan untuk menjelaskan. Bukankah begitu egois?

Hubungannya yang membaik belakangan ini membuat Esha berpikir jika ia bisa memulai semuanya dari awal. Menjalani hubungan dengan Hadinata dengan cara yang benar. Namun, lagi-lagi harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Ia keliru dalam mengartikan hubungan ini. Keliru dengan segala perilaku Hadinata. Kala itu rasanya begitu membahagiakan, tetapi semuanya hanyalah semu yang membuatnya jatuh sedalam-dalamnya. Untuk kali ini, ya hanya untuk kali ini Esha akan membiarkan dirinya menangis sepuasnya tidak peduli jika wajahnya akan membengkak nanti.

Pikirannya berkelana memutar kilas balik pertemuan pertama mereka hingga kegiatan terakhir yang dilakukan. Seperti sebuah takdir indah di mana dua orang dipertemukan dalam keadaan tidak terduga, menjalani hubungan, dan berakhir bahagia. Begitu menyenangkan begitu segala kenangan itu bermunculan, tetapi menimbulkan sesak yang semakin terasa. Bila Hadinata mau mendengar sedikit penjelasannya apakah hal ini akan terjadi? Jika dari awal dia memilih untuk tidak menemui Lina apa akhirnya akan berbeda? Apa Hadinata begitu buta hingga tidak melihat kepeduliannya selama ini? Apa tidak ada yang Hadinata rasakan sedikit pun?

Menyugar rambutnya secara asal membuat penampilan Esha semakin berantakan. Pukulan yang ia lakukan di dadanya juga tidak mengurangi sesak yang begitu menghimpitnya. Seperti yang Hadinata katakan, seharusnya ia menyadari tempatnya, posisi seharusnya ia berada. Bukannya ia begitu bodoh hingga terbuai dengan keadaan yang begitu menyenangkan. Membuatnya lupa bahwa sewaktu-waktu bahagia yang dirasa bisa saja hilang.

Tangannya bergerak mengambil ponsel yang masih menampilkan percakapannya dengan Hadinata. Sepatutnya, lelaki brengsek sepertinya tidak perlu ditangisi. Namun, air matanya kembali mengalir dengan deras begitu tanpa sengaja kembali membaca pesan terakhir Hadinata. Bagaimana jika ia merindukan Zio? Apa ia masih bisa bertemu? Sepertinya bertemu menjadi suatu keinginan yang tak akan tercapai. Apa Hadinata masih mengizinkan Zio dan dia saling berkirim pesan? Jika kelak Zio bertemu dengan orang baru atau mungkin mamanya apa ia akan dilupakan begitu saja? Berbagai pertanyaan yang ia tahu tidak akan mendapatkan jawaban ini terus berputar. Untuk selanjutnya Esha tak akan membiarkan dirinya jatuh dengan begitu mudah supaya tidak ada lagi kecewa yang perlu ia rasa.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now