Dua Puluh Dua

204 15 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Esha lupa kapan terakhir kali ia harus berlarian seperti ini di tengah malam. Menggunakan piama yang hanya dilapisi oleh jaket dengan menggenggam sebuah ponsel. Malam ini setelah Yuna pamit pulang Esha bersiap untuk tidur, tetapi ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Hadinata membuatnya melupakan keinginannya untuk tidur. Tanpa berpikir panjang Esha membuka aplikasi ojek online dan memesannya menuju rumah Hadinata. Ya, yang ingin ia lakukan saat ini adalah menemui Hadinata secara langsung. Maka saat berhasil berlari menuju rumah Hadinata dari depan komplek, dengan segera ia mengetuk pintu tersebut. Suaranya pun terdengar di keheningan malam. Esha bahkan lupa jika mungkin saja akan ada tetangga yang terganggu oleh suaranya.

Hadinata muncul dengan wajah terkejutnya setelah mendapati Esha dihadapannya. Belum hilang rasa terkejutnya tubuhnya sedikit terdorong ke belakang karena pelukan Esha yang begitu tiba-tiba. Esha memeluknya begitu erat dengan napas yang terdengar tidak beraturan. Hadinata membalas pelukan Esha sama eratnya. Membiarkan keduanya larut dalam pelukan yang begitu menenangkan.

"Mas," panggil Esha dengan suara yang terdengar begitu pelan. Kepalanya sedikit terangkat tanpa melepaskan pelukan.

Hadinata menunduk membuat jarak keduanya begitu dekat. "Mas, saya gak tau sesulit apa masa lalu yang Mas hadapi. Saya gak tau sesakit apa rasanya. Tapi yang saya tau Mas itu hebat. Mas Nata masih bisa berdiri di depan saya saat ini. Mas bisa lewatin berbagai hal tersebut. Mas bisa jadi ayah yang hebat buat Zio, tau gak kalau Mas Nata tuh keren banget," bisik Esha dengan suaranya yang terdengar bergetar, "Mas saya bangga banget sama Mas. Terima kasih karena Mas mau bertahan sampai sejauh ini. Terima kasih karena hadir di kehidupan saya," lanjutnya.

Hadinata bergeming, pandangannya mengabur membiarkan Esha kembali memeluknya. "Kamu tau gak? Dari dulu saya selalu ingin dengar kalimat seperti itu dari orang yang saya sayangi. Sekarang saya bisa dengar kalimat itu secara langsung, saya gak perlu membayangkan lagi bagaimana rasanya." Hadinata menjatuhkan kepalanya ke ceruk leher Esha membiarkan air mata yang sejak tadi ia tahan jatuh. Bukan hal mudah baginya selama ini. Hadinata terbiasa menyimpan segala hal sendiri, tidak membiarkan seorang pun mengetahuinya. Berbagai penolakan yang ia terima dulu nyatanya banyak meninggalkan bekas tak kasat mata yang kerap kali mengganggunya. Orang lain mungkin melihat kehidupannya begitu baik. Karir yang bagus, kehidupan yang stabil, memiliki anak yang pintar, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Ia memiliki luka yang tidak orang lain ketahui. Suatu waktu ia merasa takut, bagaimana jika ia tidak cukup baik untuk menjadi orang tua tunggal? Bagaimana jika pilihan yang ia buat ternyata salah? Hadinata bahkan mampu mengingat setiap malam yang ia lewati dengan berbagai ketakutan tersebut.

"Saya pikir kamu memilih pergi," lirih Hadinata tepat di telinga Esha.

"Kenapa saya harus pergi?"

"Karena tau cerita saya, karena saya gak sesempurna yang orang katakan." Hadinata mengeratkan pelukannya.

"Saya gak pernah lihat Mas Nata sempurna. Tau gak, Mas bunda saya dulu konselor dan bunda selalu bilang sama saya kalau orang yang mau konseling itu orang yang bertanggung jawab dan berani. Jalan-jalan ke dalam diri sendiri pasti melelahkan. Belum lagi harus mengingat banyak hal yang gak kita sukai dan melakukan hal ini perlu keberanian. Siapa yang suka sih, luka yang udah dikubur dalam-dalam ternyata muncul lagi? Mas berarti keren banget kan berani ngelakuin hal itu." Esha dapat merasakan Hadinata yang mengangguk. Kedua tangannya mengusap punggung Hadinata.

Meskipun pelukan tidak mengurangi luka yang ada di dalam dirinya, tetapi setidaknya Hadinata menyadari jika pelukan membuatnya merasa tenang dan diterima. Dahulu ia membayangkan bagaimana rasanya jika ada seseorang yang akan memeluknya ketika lelah? Ketika ia merasa tidak baik-baik saja? Perasaan apa yang akan dirasakan jika hal itu terjadi? Setidaknya pertanyaan tersebut ia ketahui jawabannya saat ini.

"Apa saya cengeng?"

Esha menggeleng dipelukan Hadinata. "Enggak, saya baru pertama kali lihat Mas nangis. Lagipula nangis itu gapapa, dia kan bentuk ekspresi dari emosi jadi bisa dilakukan sama siapa aja. Mas boleh nangis."

Laki-laki harus kuat, laki-laki gak boleh nangis, laki-laki jangan lemah. Menjadi kalimat yang selalu Hadinata kecil dengar. Ia tidak boleh menangis, tidak juga mengeluh karena katanya banyak yang menginginkan kehidupan sepertinya. Saat itu Hadinata kecil akan diam-diam menangis, menutupi kepalanya dengan bantal agar tidak seorang pun mendengar suara tangisnya. Bahkan jika dinding kamarnya bisa mendengar ia pastikan dinding itu tidak akan mendengarnya. Seolah tidak terjadi apa pun, Hadinata kecil akan kembali seperti biasanya di keesokan harinya. Menjalani berbagai kegiatan yang sudah dijadwalkan selepas sekolah.

"Mas tau gak kalau lagi sama saya Zio itu selalu cerita gimana Mas yang temani dia malam-malam mengerjakan pekerjaan sekolah bahkan saat beda kota Mas menemani Zio melalui video call. Zio juga cerita gimana kalian menghabiskan waktu bersama. Pertama kali Zio belajar sepeda katanya dia jatuh, abis itu Mas panik dan bawa Zio ke rumah sakit abis itu Mas selalu jaga Zio bahkan sampai gak tidur semalaman. Saya tau semua ceritanya dari Zio. Mas harus tau kalau Zio sangat bangga punya ayah seperti Mas Nata," ucap Esha sembari menangkup kedua pipi Hadinata setelah melepaskan pelukannya.

"Mas juga harus tau kalau saya peduli sama, Mas Nata. Saya senang kalau Mas mau berbagi sedikit beban yang Mas rasa, meskipun saya belum tentu bisa bantu selesaikan masalahnya. Tapi saya bisa kasih pelukan, kaya gini." Esha kembali memeluk Hadinata. Menikmati waktu tanpa saling bicara, membiarkan keduanya larut dalam suasana hening yang tercipta. Tidak ada kata yang terucap, hanya hela napas yang terdengar. Bagi keduanya cukup seperti ini, melalui pelukan dipenghujung malam bersama debar jantung yang tak beraturan.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now