Dua Puluh Lima

206 14 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Pertama kali Esha berkata ingin mengenalkan bundanya, tentu bukanlah hal seperti ini yang ada dibayangannya. Hadinata hanya mampu bergeming begitu Esha mengajaknya ke salah satu pemakaman selepas membeli bunga yang katanya adalah kesukaan sang bunda.

Begitu menginjakkan kaki pertama kali ia tak mampu mengeluarkan suara. Langkahnya pun terasa berat mengikuti Esha yang terlihat biasa saja. Hadinata masih berpikir jika Esha akan mengunjungi salah satu kerabatanya terlebih dahulu. Namun, sejak kata bunda meluncur dari bibir Esha ia tak mampu bergerak bahkan untuk mengembuskan napas saja terasa sesak. Jantungnya berdetak begitu cepat, sesak tak bisa lagi ia elakkan. Apa selama ini ia begitu tidak peduli kepada Esha hingga hal ini tidak ia ketahui? Apa Esha masih merasakan kesedihan?

"Bunda Esha dateng lagi, tapi gak sendiri. Bukan Bang Azri, tapi Mas Nata. Mas Nata yang waktu itu pernah Esha ceritain. Ada Zio juga loh, Bun." Esha berjongkok setelah meletakkan bunga. Tangan kanannya bergerak memanggil Hadinata dan Zio untuk segera bergabung.

Zio menarik tangan Hadinata mengajaknya mengikuti Esha. "Hallo, bundanya Kak Esha." Zio tersenyum cerah ke arah Esha yang berada di seberangnya.

Hadinata menundukkan pandangannya ke arah pusara, membenarkan posisi bunga yang diletakkan oleh Esha. "Selamat sore, saya Hadinata."

"Mas boleh panggil bunda dan Zio boleh panggil nenek. Kalau bunda ada, pasti bunda minta kaya gitu," ucap Esha dengan semangat. Wajahnya terlihat gembira berbanding terbalik dengan Hadinata yang masih sangat terkejut.

Esha tidak pernah bercerita mengenai bundanya dan Hadinata pun tidak pernah bertanya lebih jauh mengenai hal ini. Wajar jika ia begitu terkejut ketika Esha membawanya ke salah satu pemakaman.

Esha masih berbicara banyak hal, bercerita seperti biasanya. Begitupula Zio, ia begitu semangat menceritakan kegiatan sekolahnya juga kepergiannya tadi untuk makan kue bersama.

"Ayo berdoa buat Nenek," ucap Zio sembari menutup matanya. Esha dan Hadinata pun ikut memejamkan matanya.

Esha membuka matanya setelah selesai berdoa. Pandangannya mengarah kepada Zio sebelum beralih kepada Hadinata yang masih memejamkan matanya. Hening, hanya desir angin yang ia rasakan bersamaan dengan sang surya yang perlahan mulai terbenam.

"Kata Esha saya boleh memanggil Bunda. Semoga Bunda tidak marah mendengarnya. Terima kasih telah menjaga Esha selama ini dan maaf baru mengetahui hal ini. Maaf karena memulai hubungan dengan Esha dengan cara yang kurang tepat. Saya bingung bagaimana mengucapkannya, tetapi saya sangat beruntung bisa dipertemukan dengan Esha. Saya mencintai Esha, saya ingin menghabiskan sisa hidup saya bersamanya. Saya akan berusaha membuatnya bahagia, tetapi maaf saya tidak bisa berjanji jika saya tidak akan menyakiti Esha. Saya memiliki banyak kekurangan, tetapi saya akan berusaha untuk memperbaiki diri agar saya pantas bersanding dengan Esha. Selagi lagi terima kasih karena telah melahirkan dan membesarkan perempuan hebat seperti Esha."

"Mas doa dan bicara apa sama Bunda? Fokus banget kayanya." Esha menatap Hadinata yang kini telah menatapnya setelah terpejam cukup lama.

Hadinata menggeleng. "Rahasia."

"Pelit," ujar Esha kembali mengalihkan pandangannya.

"Bunda lihat kan, Mas Nata nyebelin banget gak sih." Esha mengusap nisan sembari melirik tajam Hadinata yang tersenyum melihatnya.

"Kamu pengaduan."

"Biarin, kenapa Mas senyum-senyum."

Hadinata hanya mampu menundukkan kepalanya membiarkan Esha melanjutkan pembicaraan mengenai dirinya. Zio sesekali juga membenarkan perkataan Esha dan mengangguk dengan kedua jempol yang terangkat. Menyetujui segala hal yang diucapkan oleh Esha.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Where stories live. Discover now