IV. Antara Pekerjaan dan Pasangan

171 30 29
                                    

Krystal merebahkan tubuh lemasnya di sofa berbahankan beludru warna pastel. Pertemuan makan malam tim terasa melelahkan bagi Krystal. Ia tidak pernah ikut acara seperti itu sebelumnya. Kalau pun harus mengadakan makan malam, tentu itu hanya dengan ketua tim dengan tujuan membahas pekerjaan, bukan untuk bersenang-senang seperti yang tadi ia lihat.

Walau ia sangat penat, tapi pikirannya masih saja tertuju pada karyawan baru tersebut. Dari sudut pandangnya, lelaki itu tidak punya rasa takut sama sekali. Atau mungkin bisa dikatakan tidak punya rasa hormat? Apa karena usianya yang sedikit lebih muda? Tetap saja seharusnya menyadari posisinya yang jauh di bawah Krystal.

"Kamu baru balik kantor? Larut sekali," sapa Mauri, mama Krystal yang sudah mengenakan payamas. Kelihatannya Mauri sudah sempat tertidur dan terjaga untuk mengambil minuman di dapur, ada gelas di tangan kanannya ketika melewati Krystal.

"Aku duduk dengan tim pemasaran tadi," tanggap Krystal seadanya.

Mata ngantuk Mauri seketika melebar mendengar jawaban anaknya tersebut. "Kamu gabung dengan mereka? Kenapa? Nggak pernah-pernahnya kamu melakukan itu." Ibu tiga anak itu pun kini sudah duduk di samping Krystal dan ingin tahu lebih lanjut.

"Hanya menemani Giyan. Kebiasaan mereka yang selalu menyambut staf baru dengan acara makan malam sangat membosankan. Mereka menghabiskan waktu untuk ketawa tanpa menyiapkan tenaga untuk bekerja esok hari. Bisa-bisa besok pas kerja nggak fokus lagi karena nggak cukup istirahat," ketus Krystal dengan nada tidak suka.

"Kamu seharusnya belajar dari mereka untuk menikmati hidup. Kamu terlalu ambisius dengan kerjaan. Di dalam kepalamu hanya kerja kerja dan kerja. Makanya wajahmu judes, bibirmu nggak bisa senyum," balas Mauri menyalahkan perangai anak sulungnya yang susah diberitahu.

Tidak terima dengan apa yang dikatakan mamanya, Krystal memperbaiki duduk dan menghadap Mauri dengan mata menantang. "Siapa bilang aku nggak bisa senyum? Aku senyum dan ketawa saat ada hal yang lucu. Kalau mau hidup enak, harus kerja. Jangan maunya enak tapi usahanya kosong."

Mauri geleng-geleng kepala dengan sifat keras kepala anaknya yang satu ini. "Kamu benar-benar mirip papamu. Awas aja kalau setelah menikah nanti kamu lebih mementingkan pekerjaan daripada mengurus suamimu," peringat Mauri seraya berdiri untuk masuk kembali ke kamarnya.

Krystal tidak menanggapi. Ia segera mengalihkan pandang dan memainkan kuku lentiknya. Siapa bisa jamin ia yang selama ini terus berkutat dengan pekerjaan hanya akan fokus pada suami setelah menikah nanti? Benar bahwa dia mencintai Giyan. Sangat. Tapi, dia juga harus realistis, bahwa hidup bukan hanya perkara cinta. Apalagi posisinya di kantor yang harus memikirkan dari akar sampai ke puncak. Tentu saja itu yang utama.

Krystal dan Giyan juga sudah sempat membahas hal ini. Berdasarkan jawaban yang Giyan beri, sepertinya lelaki itu tidak masalah dengan pendirian Kystal.

"Aku tahu gimana perjuanganmu sampai ada di posisi sekarang, jadi mana mungkin aku memintamu hanya mengurusku ketika kita sudah menikah. Kalau kamu kehilangan fokus, maka itu akan berdampak pada perusahaan. Perusahaan ini bisa maju karena kamu pemimpinnya," tanggap Giyan kala itu. Bukankah itu berarti lelaki yang sudah dikenal sejak masih duduk di bangku kuliah tersebut tidak akan protes jika nanti ia gila kerja?

Krystal merasa sangat lega ketika Giyan memberikannya jawaban tersebut. Salah satu hal yang dibutuhkan seseorang dari pasangannya adalah rasa pengertian. Ia selalu mendapatkan itu dari Giyan. Entah mungkin karena Giyan sudah mengenalnya sangat lama dan tahu segala kesibukannya sehingga bisa begitu mengerti, atau memang Giyan yang tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal yang menurutnya tak patut diributkan. Krystal sangat bersyukur dipilih Giyan sebagai kekasihnya yang sebentar lagi akan menjadi pendamping seumur hidup.

Sedang memikirkan hal tersebut, ponselnya berdering. Panggilan video dari tunangannya, siapa lagi kalau bukan Giyan.

"Kamu belum ganti pakaian?" tanya Giyan dari seberang begitu melihat penampilan Krystal yang belum berubah—masih dengan setelan kerja. Sementara Giyan di seberang sana sudah mengenakan celana pendek dan kaos putih andalannya.

Krystal tersenyum dan memandang wajah kekasihnya yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu. "Selama ini kita hanya menghabiskan malam lewat layar seperti ini. Nanti aku akan melihatmu langsung dan bisa menyentuh wajahmu sebelum tidur. Itu pasti akan sangat menarik, kan?" tuturnya dengan tatapan penuh cinta.

Giyan tertawa malu di seberang sana. "Tentu. Kamu bisa mencubit wajahku sesuka hatimu."

"Jangan. Nanti pipimu merah. Kasihan," sergah Krystal cepat dengan bibir melengkung ke bawah.

"Mana mungkin." Lagi-lagi Giyan tertawa. "Kamu nggak akan mencubitku seperti anak yang kedapatan mencuri, kan?"

Krystal mengulum bibirnya, "Kamu, kan, udah curi hati aku sejak lama."

Giyan tertawa renyah di seberang sana. Obrolan mereka merambat ke mana-mana, hingga Krystal lupa membersihkan diri dan tertidur dengan setelan kerjanya. Dan tanpa Krystal tahu, Giyan sedang membalas pesan seseorang di seberang sana.

Artificial LoveWhere stories live. Discover now