XXXII. Perhatian Krystal

103 17 0
                                    

Zay berjalan ke pantry guna membuatkan beberapa gelas kopi untuk staf yang sedang berkumpul di studio. Tadinya mereka berniat meminta tolong pada OB saja, tapi tidak terlihat OB di lantai ini. Akhirnya, Zay pun tidak masalah ketika harus diminta oleh Ratu membawakan mereka minuman. Ia juga senang karena sudah terbiasa dalam hal ini ketika berada di rumah, jadi bukan masalah besar ketika ia harus melayani dalam bentuk penyajian minuman.

Bibirnya bersiul sembari mengaduk minuman yang sudah diseduh. Hanya saja, setelah dihitung jumlahnya, sepertinya kurang dua lagi. Zay pun membuka laci-laci yang digunakan sebagai tempat penyimpanan, tapi tidak terlihat sama sekali.

"Kamu cari apa?" Sebuah suara mengejutkannya hingga ia terjedut laci ketika hendak berdiri.

"Oh, sorry, kaget ya," sambungnya lagi sembari mendekati Zay dan memperhatikannya lebih jelas.

"Bu Krystal kenapa di sini?" tanyanya tidak menjawab pertanyaan Krystal sama sekali. Ia kaget sebab seseorang yang berkepribadian cuek memasuki pantry karena ada dirinya di dalam. Bukankah ini patut dipertanyakan? Atau ia yang sedang keGRan?

"Saya melihat kamu bertingkah seperti pencuri, makanya saya datangi." Jawaban Krystal sangat kejam, tapi Zay malah mengartikan sebaliknya. Itu pertanda ia peduli.

Zay mengulum senyum, "Apa yang bisa saya curi dari sini, Bu? Gelas-gelas ini? Atau mie instan?" Pertanyaan-pertanyaan itu lebih terdengar seperti ledekan.

Krystal mengabaikan ledekan Zay dan memperhatikan di atas meja telah ada nampan berisikan beberapa gelas kopi. "Kamu mau bawa ini ke studio? Kenapa nggak ambil minuman botol aja di kulkas? Kamu lagi nyusahin diri sendiri ya?"

Zay melebarkan bola matanya dengan binar yang terlihat jelas. Ia bahkan tersenyum dan menepuk tangan. "Ibu lagi cerewetin saya? Momen yang langka ini. Patut diabadikan," responsnya sambil menyengir girang.

Di luar nalar, Krystal mengetuk kepala Zay dengan buku-buku tangannya. "Kamu selalu mengartikan tindakanku sesukamu," jawabnya dengan menahan senyum. Akan tetapi, tidak bisa dielak pipinya bersemu merah.

Apa yang terjadi pada diriku? Anak ini hanya bergurau dan aku bersemu? Astaga! Ingat Giyan, Tal, peringat batinnya.

Zay yang menyadari gelagat aneh dari Krystal, tidak ingin membuat perempuan itu bertambah malu. Ia mengabaikan hal tersebut, walau hatinya juga turut senang mendapat respons demikian dari incarannya.

"Minuman botol memang menyegarkan, tapi seduhan kopi saya lebih nikmat untuk diminum saat bekerja." Zay memberikan jawaban atas cecaran Krystal terhadapnya tadi. Ia berharap jawaban itu bisa meredakan kondisi Krystal yang sedang malu-malu. Ia pun berniat untuk membalikkan badan dan mengambil nampan serta membawanya ke studio. Namun, sepertinya ia harus mengikhlaskan gelas-gelas itu. Karena genggamannya pada ujung nampan tidak seimbang, satu gelas tergelincir dan jatuh di lantai. Beruntung, gelas lainnya dapat diselamatkan dengan segera menyeimbangkan genggamannya.

Krystal yang kaget melihat kopi itu tumpah tepat di atas sepatu Zay pun bergegas ingin membantu, tapi tangan Zay segera menahannya. "Saya aja." Suara yang tikeluarkannya tidak seperti biasanya yang pecicilan. Kali ini terdengar serius dan tegas.

Zay mulai mengambil satu per satu pecahan kaca yang berserakan dan nahas, telunjuknya tidak sengaja mengenai serpihan kaca tersebut.

Krystal yang sudah geregetan dengan Zay segera menarik tubuh Zay untuk bangkit dan membawanya duduk di kursi. Ia pun menggunakan telepon yang ada di sudut meja untuk memanggil OB. "Kalian di mana, sih? Kalian tahu nggak kalau tim pemasaran butuh kalian sediakan makan-minum untuk dibawa ke studio? Gara-gara kalian salah satu staf kecelakaan kena beling. Kalau jarinya sakit berhari-hari gimana? Kerja kok ngilang-ngilang!" repetnya melalui gagang telepon yang segera dimatikan. Ia pun mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya kembali ke hadapan Zay dengan kain kasa yang diambil dari laci kanan bawah.

"Bu—"

"Diam kamu," potong Krystal cepat. "Kalau bukan tugas kamu, nggak usah dikerjain. Gini sama aja kamu nyusahin orang lain. Iya, benar, kamu ahli masak di rumahmu. Masakanmu lezat. Tapi, ini kantor. Kita punya orang khusus yang bekerja di bidang itu. Untuk apa saya bayar mereka, kalau kamu ngorbanin diri sendiri begini?"

Zay tidak menjawab lagi. Ia memperhatikan wajah Krystal yang masih kesal, serta tangannya yang cekatan membalut jemari milik Zay. Hatinya tergelitik ketika mengingat Krystal mengkhawatirkan kondisi jemarinya. Padahal hanya satu jari, bagaimana bisa sakit berhari-hari? Lucu sekali perempuan di depannya ini.

"Kak Zay?"

"Krystal?"

Terdengar dua suara berbeda dari arah pintu pantry menyebut nama keduanya hingga mereka sontak menoleh.

Krystal segera menghempaskan jemari Zay yang telah selesai dibalutnya. Seperti sedang ketahuan, perempuan itu langsung berdiri dan menyambut kedatangan adik dan tunangannya. Namun, bukannya datang ke arahnya, Berlian malah mendatangi Zay yang masih terduduk.

"Kamu kenapa? Tangan kamu luka? Kena apa? Pegang apa?" tanyanya dengan raut wajah cemas.

"Apaan, sih?" Zay menarik tangannya dengan ekspresi tidak suka.

Berlian yang sadar bahwa ia baru saja berjanji pada kakaknya untuk melupakan lelaki itu, nyatanya masih sangat peduli hanya dengan melihat luka kecil pada jari mantan kekasihnya tersebut.

"Kalian saling kenal?" tanya Giyan, menunjuk Zay dan Berlian secara bergantian.

Zay loading. Ia memutar kembali isi kepalanya pada beberapa malam lalu ketika mereka duduk makan malam bertiga. Saat itu Giyan menyebutkan nama adik Krystal yang ingin dijodohkan dengannya. Yang mana, namanya sama seperti mantannya. Inikah? Berlian mantannya adalah adik dari Krystal? Zay bergeming.

Berlian melihat Krystal dan Giyan bergantian yang menunggu jawabannya. Padahal sudah ia ikrarkan dalam hati untuk membenci lelaki itu, tapi tetap saja ia belum bisa. "Dia salah satu kenalanku, Kak. Aku nggak tahu kalau ternyata dia bekerja di sini," jawab Berlian kikuk setelah melihat tanda pengenal yang bergantung di dada Zay.

Krystal tidak percaya begitu saja. Ia menyipitkan mata dan kembali bertanya pada adiknya, "Dia kenalan yang bisa membuatmu sekhawatir itu?"

"Memangnya nggak boleh khawatir sama kenalan?" balas Berlian cepat.

Tidak ingin ambil pusing, Krystal pun asal mengangguk-angguk. "Gimana pemotretannya?" tanya Krystal pada Giyan dan mereka melanjutkan langkah menuju ruangan Krystal.

Sementara itu, Berlian masih berdiri di tempat seraya memandangi laki-laki itu yang bahkan tidak menatapnya sama sekali.

"Aku pikir aku bisa membencimu seperti yang kamu lakukan padaku. Ternyata aku nggak setega kamu, Kak. Hatiku masih berharap kamu kembali untuk aku, walau aku tahu kamu udah punya perempuan baru," ujar Berlian kembali merendahkan dirinya di hadapan Zay.

Zay yang sudah sangat lelah dengan dramatisasi perasaan Berlian, menatap lekat perempuan itu. "Kamu mau membalikkan fakta seolah aku yang jahat? Aku dan kamu udah lama putus. Aku atau kamu punya pasangan baru, itu bukan kesalahan, bukan kejahatan. Itu hak kita masing-masing. Perihal hati kamu yang masih berharap, itu masalah hati kamu. Kamu yang harus mengatasinya tanpa harus melibatkan aku."

Zay berjalan dari samping Berlian berniat untuk meninggalkan perempuan itu, tapi langkahnya terhenti karena ada sesuatu yang harus disampaikannya sebelum lupa. "Kamu nggak harus bohong pada kakakmu tentang siapa aku. Kamu berniat menyelamatkan karirku di sini? Aku nggak akan berterima kasih untuk itu. Kamu juga dulu berbohong bahwa kamu anak tunggal."

Setelah mengucapkan kalimat-kalimat itu, Zay benar-benar pergi meninggalkan Berlian yang sedang menahan diri dengan sekuat-kuatnya agar tidak menangis di sini.

Artificial LoveNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ