XIII. Makan Bersama

103 22 10
                                    

Taman belakang kantor menjadi tempat yang mulai disukai Zay sejak pertama kali mengunjunginya kala itu. Ia dapat menghirup udara segar di sana serta menatap langit cerah yang membawa ketenangan.

Sekarang pun ia datang ke taman dengan satu cup kopi di tangannya, dan sekotak bekal makan siang. Teman-teman satu tim nya pergi ke kafe depan kantor untuk menikmati makan siang, sementara dirinya lebih suka menyantap makanan yang telah disiapkannya sendiri sejak tadi pagi.

Langkahnya terhenti saat ada orang lain yang sudah duduk di bangku taman. Bukan orang asing, melainkan sosok yang siapa saja di kantor ini pasti mengenalnya.

"Bu Krystal di sini juga?" tanya Zay yang masih berdiri di belakang Krystal, memaksa Krystal untuk menoleh agar tahu siapa yang berbicara.

Sepertinya perempuan itu sedang kesal, dan bertambah kesal ketika mengetahui Zay lah yang menyapanya. Terlihat jelas dari caranya menghela napas.

Menangkap rasa tidak suka itu, Zay tidak serta merta pergi begitu saja. Ia malah langsung menempatkan diri di samping Krystal dan meletakkan kotak bekalnya.

Krystal menatap aneh pada Zay yang seakan tidak mengerti kode yang diperlihatkannya lewat sikap barusan.

"Saya tahu ibu sedang ada masalah, tapi bukan berarti saya harus ngalah untuk pergi gitu aja. Saya juga nggak akan ganggu Ibu, kok. Saya cuma mau makan aja," ujar Zay menjawab tatapan aneh dari Krystal.

Krystal melipat tangan di dada dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan keberadaan Zay di sampingnya. Hanya saja aroma makanan yang dibawa Zay begitu menggodanya.

Krystal melirik dengan ujung mata. Bukan makanan mewah, melainkan masakan rumahan yang biasa disajikan oleh ibu-ibu mereka. Krystal menelan salivanya karena rasa ingin mencicipi, tapi tetap berpegang teguh untuk tidak meminta. Namun sial, suara dari perutnya tak bisa ditutupi. Perutnya berdemo ingin mencoba makanan yang dibawa Zay.

"Ibu belum makan siang? Mau makan?" tanya Zay memperhatikan gelagat Krystal yang masih saja mempertahankan ekspresi dinginnya.

"Saya bantu pesan di aplikasi online ya?" tawar Zay.

"Bosan," cetus Krystal yang langsung dirutuki oleh dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia membuka peluang untuk lelaki itu menggodanya lagi.

"Oh, jadi sebenarnya Ibu mau makanan saya, tapi gengsi bilangnya?" goda Zay dengan cengiran andalan. "Mau saya suap?" lanjutnya.

"Lancang kamu. Siapa juga yang mau makanan kamu," bantah Krystal salah tingkah.

Zay tertawa lebar melihat Krystal yang menampik pertanyaan dengan cara yang menurutnya lucu.

"Saya sering melihat sekretaris Ibu bawain makanan pesan dari aplikasi. Ibu sibuk sekali ya sampai nggak sempat masak?" Nada bicara Zay terdengar lebih serius dari sebelumnya.

"Saya nggak bisa masak."

"Mau saya masakin?" pertanyaan tersebut berhasil menarik perhatian Krystal.

"Saya selalu masak sendiri, setiap hari. Bekal adik saya juga saya siapkan, biar dia nggak perlu makan di luar. Bantu dia jadi lebih hemat juga," ucap Zay menjawab kebingungan dari tatapan Krystal.

Sesendok nasi yang diberi potongan telur gulung diulurkan ke hadapan Krystal, "Mau coba?"

Krystal ragu menerima tawaran tersebut. Akan tetapi, walau sederhana, itu terlihat nikmat di matanya. Mulutnya pun terbuka guna menyambut makanan yang diberikan oleh Zay. Tepat. Rasanya enak, lebih enak dibanding makanan yang biasa dia pesan dari aplikasi online.

Mengetahui bahwa Krystal menyukai masakannya, sendok itu pun diberikan untuk Krystal. "Saya udah kenyang. Ibu habiskan aja."

Tanpa membalas ucapan, Krystal pun menerima dengan cepat dan makan dengan lahap.

"Kamu punya bakat apa aja, sih?" tanya Krystal dengan makanan yang penuh dalam mulutnya.

"Ngomong jangan sambil makan, Bu. Nanti keselek," tanggap Zay dan menyodorkan minuman yang langsung diambil Krystal. Perempuan itu tentu saja merasa haus ketika sedang makan.

"Saya nggak punya bakat yang wah, Bu. Saya cuma berbakat untuk melakukan yang terbaik demi orang di sekeliling saya." Zay memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Krystal sambil menatap perempuan di sampingnya itu.

Krystal berpikir sejenak untuk menanggapi jawaban Zay. "Kamu melakukan yang terbaik untuk orang lain, lantas gimana untuk dirimu sendiri?" Kini Krystal pun menatap Zay dengan serius, dan mengenyampingkan makanannya yang masih bersisa beberapa suap lagi.

"Itu juga akan berimbas untuk saya, Bu. Bukankah kebaikan untuk orang lain termasuk kebaikan untuk diri sendiri? Nggak ada kebaikan yang akan dibalas dengan keburukan. Ibu saya selalu berpesan, menjadi orang baik itu nggak akan pernah buruk. Walau kita akan dibalas dengan cara yang buruk oleh orang itu, ke depannya pasti akan datang kebaikan yang lebih baik daripada yang pernah kita buat." Zay berkata dengan mata berkaca karena mengenang sosok Ibunya yang telah tiada. Namun, hal tersebut tidak dapat ditangkap oleh penglihatan Krystal. Ia hanya fokus pada kalimat yang dilontarkan Zay.

"Selama ini kamu selalu berlaku baik pada orang lain?" tanya Krystal dengan tampang polos. Demi apa pun, kepolosan itu membuat Zay ingin sekali mencubitnya.

"Saya manusia biasa, Bu. Di dalam diri saya pasti ada amarah, benci, dendam, untuk orang lain. Saya bukan Tuhan yang bisa memaafkan setiap kesalahan hamba-Nya. Saya juga bukan orang baik yang menerima perlakuan buruk orang lain terhadap saya atau orang di sekeliling saya. Yang saya sampaikan tadi adalah pesan Ibu saya yang belum genap bisa saya jalani dengan baik," jelas Zay secara singkat.

Krystal manggut-manggut mengerti. "Terima kasih untuk makan siangnya. Saya akan balas dengan makanan lainnya nanti."

"Kita makan berdua?" respons Zay cepat dengan senyum mengembang bersemangat.

"Makan dengan tim kerjamu!" ketus Krystal dan segera angkat kaki tanpa kata terima kasih, tanpa menutup kembali kotak makanannya.

Itu bukan masalah, setidaknya Krystal kini sudah selangkah lebih dekat dengannya. Zay pun mengetahui bahwa masakannya cocok dengan lidah atasannya tersebut. Tentu ia sudah menyiapkan rencana lebih lanjut untuk ke depannya.

Artificial LoveWhere stories live. Discover now