V. Dia Tetap Ayahmu

125 26 0
                                    

Zay membereskan sisa kotoran di dapur setelah menggunakannya untuk menyiapkan sarapan. Sebagai anak sulung, ia sudah biasa melakukan pekerjaan rumah tangga dari bersih-bersih sampai memasak. Memasak menjadi bagian favoritnya selama di rumah karena mencium aroma masakan yang lezat dapat mengubah suasana hatinya.

"Kakak masak sup lagi untuk bekalku? Siang nanti akan dingin, pasti nggak enak," keluh adiknya yang baru saja bangun tidur. Matanya setengah mengantuk, dan rambutnya kusut.

"Hari ini kamu kuliah siang, kan? Jadi, kamu nggak perlu bawa bekal. Kamu makan dulu di rumah sebelum berangkat," jawab Zay sambil tersenyum dengan tangan yang cekatan membersihkan kompor.

Meykha berdecak kesal. "Lagi-lagi Kakak lupa kalau aku masuk pagi."

Meykha mengambil piring dan menyendok nasi. Ia tahu benar sifat kakaknya yang pelupa. Karena itu ia tidak pernah mau membuat janji dengan Zay. Jika memang penting, hubungi saat itu juga. Atau jika sudah sangat terpaksa, maka Meykha akan membuat alarm di posel Zay sebagai pengingat momen penting.

Zay menampakkan deretan giginya sebagai bentuk rasa bersalah. "Kamu mau Kakak masakkan yang lain? Nasi kuning dan telur gulung kesukaanmu?" tawar Zay seraya memperhatikan adiknya yang mulai lahap menyuap mulutnya dengan nasi sup panas.

"Kakak nggak akan sempat membuat makanan itu sekarang. Kakak mau telat ke kantor? Kakak baru diterima kerja di perusahaan elit, jadi jangan coba-coba buat masalah. Mau dipecat dan balik lagi kerja di tempat yang bayarannya minim? Entar aku ikutan kerja, lho. Boleh?" sindir Meykha tanpa melihat kakaknya.

Zay segera membalikkan badan dan mendekati adiknya yang sedang fokus makan. Dengan sorot mata tajam, Zay menyanggah, "Oh, nggak bisa. Kamu tanggung jawab Kakak. Selama kamu belum selesai kuliah, kamu nggak boleh kerja. Masalah duit biar Kakak yang pikir."

Meykha membanting sendok di atas meja. Ia sebenarnya tidak suka dengan pembahasan ini. Akan tetapi, ia juga tidak bisa terus-terusan mengabaikannya. "Sampai kapan Kakak akan memperlakukanku seperti anak kecil yang nggak bisa kena hujan? Usiaku udah di atas 20, Kak. Aku udah sangat mampu untuk bekerja. Tubuhku bahkan kuat angkat beras 10kg. Aku paham Kakak nggak ingin menyulitkanku dan memecahkan fokusku karena kuliah. Tapi, apa Kakak memikirkan perasaanku? Aku merasa jahat karena menyusahkan Kakak. Ini bukan kewajiban Kakak, tapi Kakak menanggungnya seorang diri," isak Meykha dengan air mata yang mulai menetes.

Zay segera memeluk adiknya. "Kamu tanggung jawab Kakak." Satu kalimat itulah yang dilontarkannya untuk menanggapi semua racauan Meykha. Seberapa banyak pun alasan yang akan dia beberkan, tetap itulah yang menjadi kunci utamanya.

"Andai keluarga kita masih utuh," lirih Meykha dalam isaknya.

Zay terdiam. Ini pembahasan yang sensitif dan Zay lebih sering melarikan diri. Membahas hal ini sama saja seperti menguak kembali luka lama. Walau ia sadar, sampai kapan pun permasalahan ini tidak akan pernah terlupakan.

Selama dua belas tahun terakhir ia sudah terbiasa hidup berdua dengan adiknya, setelah ibunya meninggal. Ia sudah biasa menjaga satu-satunya perempuan yang paling dicintainya. Maka, hal tersebut sudah cukup tanpa menyebut penyebabnya.

"Kemarin Ayah menemuiku di depan kampus. Dia sendiri, nggak ada perempuan itu. Dia mengajakku makan siang, tapi aku ada kelas. Pertemuan kami sangat singkat." Meykha bertutur dengan pelan. Ia khawatir menyakiti perasaan Kakaknya.

Zay melepas pelukannya dan menarik kursi di samping Meykha. Ia menyeka sisa air mata adiknya yang masih menempel di pipi. "Kamu sebenarnya sangat merindukannya dan ingin menghabiskan waktu dengannya, kan?" selidik Zay tapi tetap terdengar lembut. "Kakak memang pelupa, tapi untuk yang kemarin Kakak ingat, kamu nggak ada kelas di siang hari. Kamu sengaja menghindarinya untuk menghormati Kakak? Kamu nggak akan pernah bisa membencinya seperti yang Kakak lakukan, Mey. Bagi Kakak dia udah nggak ada lagi di dunia ini, tapi bagi kamu dia akan terus hidup."

Berat. Sangat berat bagi Zay mengucapkan kata demi kata itu. Namun, ia juga tidak bisa egois dan memaksa adiknya turut membenci laki-laki yang dulunya pernah bersama mereka. Ia harus bisa memisahkan emosi pribadi agar adiknya tidak terlibat.

Meykha menunduk dan mencerna kata-kata kakaknya. Tidak ada yang salah satu kata pun. Semua benar. "Kakak akan baik-baik aja kalau aku makan siang dengannya?"

"Nggak masalah. Walau gimana pun dia masih Ayahmu," jawab Zay datar.

Zay masih merekam dengan jelas kejadian belasan tahun lalu yang menyebabkan ia harus tinggal berdua dengan Meykha setelah ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Ia tidak akan pernah melupakan hal itu, walau ia amnesia sekali pun.

Zay, laki-laki yang ketika itu ditinggalkan oleh cinta pertamanya, mengucap janji pada diri sendiri bahwa ia akan membalas perbuatan lelaki itu suatu hari nanti bagaimana pun caranya.

Artificial LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora