XIV. Resah

109 29 40
                                    

Giyan sedari tadi memperhatikan Zay dari meja kerjanya. Perkataan Krystal terus terngiang di kepalanya. Mengapa Zay yang datang ke sana untuk menemani Krystal? Mungkinkah Krystal yang mengajaknya? Apakah mereka sedekat itu? Sepertinya tidak mungkin.

Krystal bukan tipikal perempuan yang mudah berbaur apalagi dengan lawan jenis. Seperti yang pernah dikatakannya pada Zay, Giyan dulu selalu mengajak Krystal berbicara lebih dulu. Pasalnya, Krystal akan diam saja dan abai jika tidak diajak bicara duluan. Mungkin bagi perempuan secerdas dan punya privilege seperti Krystal, tidak masalah baginya jika tidak berbaur dengan yang lain. Hanya saja, bagi Giyan, ia akan merasa percuma jika mengabaikan perempuan seperti Krystal. Memang butuh usaha dan waktu lama untuk bisa menaklukkan seorang Krystal.

Mungkin bisa dikatakan bahwa keberuntungan sedang berpihak pada Giyan karena Krystal bersedia menerimanya yang kalah dari segi prestasi atau pun latar belakang keluarga. Entah apa yang dilihat perempuan itu padanya sehingga mereka bisa bertahan sampai sekarang dan hampir menikah.

Begitu pula dengan keluarga Krystal yang memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka tidak memandang harta sama sekali. mungkin saja Krystal mengatakan poin-poin baik tentangnya pada keluarga sehingga mau menerimanya menjadi calon menantu.

Ratu menyadari bahwa ketua timnya sedang menatap teman kerja yang duduk di sampingnya. Walau tatapannya sejak tadi ke arah komputer, ia tetap bisa mengetahui hal tersebut. Katanya, hal itu terjadi karena perempuan punya penglihatan yang melebar, sehingga mudah untuk melihat hal-hal yang ada di sekitar.

"Kamu ada buat masalah apa hari ini?" tanya Ratu perlahan dengan penglihatan yang masih mengarah ke layar komputer. Ia juga menarik kursi lebih merapat ke arah meja dan sedikit menggeser ke kiri agar Zay bisa mendengar suaranya.

Zay yang ditanya malah melongo tidak jelas karena tidak paham dengan pertanyaan yang diajukan seniornya tersebut.

"Pak Giyan dari tadi lihatin kamu sampai matanya sipit-sipit gitu. Kamu ada buat salah?" ulang Ratu dengan intonasi yang ditekan dan pelan. Jangan sampai Niko turut mendengar pembicaraan mereka, karena lelaki itu pasti akan nimbrung dan Pak Giyan akan curiga.

Zay berpikir sejenak dengan bola mata yang bermain ke kiri atas dan kanan bawah. "Sepertinya aku hari ini belum membuat masalah apa pun," jawabnya asal.

Zay melanjutkan kembali pekerjaannya tanpa ambil pusing dengan pertanyaan Ratu yang menurutnya tidak berdasar.

Dari mejanya Giyan sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menuntaskan rasa penasarannya. Dengan mata menyipit, jemari yang menggosok dagu, ia langsung bertanya pada Zay yang masih bekerja, "Zay, akhir pekan kemarin kamu ke mana?"

Ratu dan Niko melirik Giyan dan Zay secara bergantian. Tidak pernah sebelumnya ketua tim pemasaran itu bertanya hal yang bersifat privasi di depan karyawan lain.

"Saya pergi ke beberapa tempat. Bertemu teman, belanja dengan adik saya, dan ya rutinitas pada umumnya; rebahan di rumah," jawab Zay tanpa pikir panjang.

"Temanmu perempuan?" selidik Giyan dengan hati yang bergemuruh.

Zay mengangguk santai. Sorot matanya tidak terbebani sama sekali. "Apa saya harus membuat laporan mingguan saya pada Bapak?" Zay membalikkan pertanyaan yang disergah cepat oleh Giyan. "Nggak perlu. Kalian lanjut bekerja, saya keluar sebentar," ucapnya dan bangkit dari tempat duduk.

Giyan menarik jas yang tersampir di kursi, melonggarkan sedikit dasi yang menguat di leher. Rasanya gerah sekali dan ia butuh udara segar sekarang.

"Kenapa kalian melihatku begitu?" tanya Zay pada Ratu dan Niko yang menatapnya curiga selepas Giyan menghilang dari peredaran mereka.

"Nggak mungkin kamu nggak berbuat salah. Mungkin ada yang kamu lewatkan?" teror Ratu dengan mata yang menyelidik.

"Kamu dekati Bu Krystal ya?" tanya Niko dari seberang yang langsung membelalakkan mata Ratu. "Aku melihat kalian di taman belakang tadi," lanjutnya untuk menghindari kesalahpahaman.

"Kalau aku duduk makan siang berdua dengan Kak Ratu apa itu artinya kami berkencang?" respons Zay yang mencengangkan mulut Niko.

"Kak Ratu, lihatlah caranya bicara seperti Bu Krystal."

Ratu mengetuk-ngetuk dahinya dan mengabaikan pembicaran kedua temannya. Ia masih memikirkan alasan Giyan bersikap demikian pada Zay.

"Apa mungkin salah satu teman yang kamu temui itu kenalan Pak Giyan? Lalu beliau melihat kalian berdua?" Ratu masih mencari tahu beberapa kemungkinan.

"Kenapa nggak langsung nyapa aja? Kenapa harus mempertanyakan di depan kita dengan cara begitu, seolah misterius?" tanggap Niko yang tidak setuju dengan cara Giyan.

"Kamu yakin nggak punya kenalan yang dekat dengan Pak Giyan?" tanya Ratu lagi.

"Yang aku tangkap dari cara Pak Giyan bertanya, beliau sedang dikelilingi rasa penasaran. Ada yang ingin dicari tahu tapi nggak tahu caranya. Perhatian nggak tadi pas beliau keluar? Wajahnya frustrasi, gerah dan harus keluar bukan untuk kerjaan tapi untuk menenangkan pikiran," terang Niko mengenai apa yang ditangkapnya.

"Baru kali ini aku lihat Pak Giyan resah karena karyawan baru."

Zay membiarkan keduanya bertukar pikiran, mencari tahu apa yang terjadi pada Giyan. Zay sendiri sudah tahu kemana arah pembicaraan Giyan, tapi ia tidak akan mengaku begitu saja. Untuk apa mengaku pada seseorang yang tidak menanyakannya dengan lantang?

Artificial LoveWhere stories live. Discover now