XIX. Risiko Berpasangan

110 18 1
                                    

Meja makan putih dengan corak silver telah disediakan di atasnya beragam macam makanan yang sedap dipandang mata, serta tentu nikmat untuk disantap. Kursi-kursi empuknya hanya diduduki oleh empat empunya, sementara dua lagi kosong tak berisi. Salah satunya memang kosong sejak awal, tidak ada yang pernah duduki. Sementara yang satunya lagi, pemiliknya masih berdiam di apartemen tanpa diketahui kapan menunjukkan muka di rumah.

"Berlian betah banget di apartemen," celetuk anak tertua keluarga ini, Titan.

"Dia sibuk, kemarin mama telepon juga lagi pemotretan," sahut Mauri dari kursi depannya.

"Kamu kangen sama dia? Kunjungi dong, jangan cuma tanya-tanya aja," timpal Cakra menyindir putra semata wayangnya.

"Dih, ngapain kangen dia? Lebih bagus nggak ada dia di sini. Nggak ada yang berisik," elak Titan yang disambut senyum ketiganya.

Titan dan Berlian memang sering adu mulut karena sifat mereka yang bertolak belakang. Berlian si bungsu yang bawel dan suka merengek, sedangkan Titan si sulung yang tidak suka diganggu. Jadilah, Krystal si tengah yang sering menjadi penengah antara keduanya.

"Akhir pekan lalu aku juga ada ke apartemennya, kok," ujar Krystal untuk menjawab kakaknya. Sebenarnya, Titan penasaran dengan kabar adik bungsunya, tapi gengsinya yang tinggi menutupi hal tersebut.

"Masih suka nangisi laki-laki yang ninggalin dia itu?" tanya Titan seolah sudah tahu jawaban pastinya.

"Dia masih berhubungan dengan laki-laki itu?" tambah Mauri tidak suka dengan pertanyaan Titan.

Seluruh keluarga Berlian tahu peristiwa yang menyayat hati si bungsu. Ia ditinggalkan dengan alasan yang tidak masuk akal. Meski tidak satu pun dari mereka yang tahu seperti apa wujud lelaki yang telah menyakiti si bungsu—termasuk namanya—dendam untuknya telah ditanam sejak awal. Bahkan Titan bersikeras ingin menemui lelaki itu untuk memberi pelajaran.

"Nggak, kok, Ma." Krystal berpikir sebentar makna dari kata tidak yang dilontarkannya. "Dari sisi Berlian, dia masih ngejar. Tapi laki-laki itu udah putuskan kontak dengan Berlian. Dia diblokir," lanjutnya dengan ekspresi kasihan.

Terdengar dengusan kesal dari Titan. "Dia pasti berpikir dia menjadi manusia hebat karena telah membuat Berlian tergila-gila padanya sampai berani memblokir nomor Berlian. Semakin penasaran aku dengan tampangnya itu. Apa, sih, yang dilihat Berlian dari pecundang seperti dia?" Emosi jelas terdengar dari intonasi yang dikeluarkan mulut Titan.

Krystal meneguk minumannya karena telah selesai menghabiskan isi piring. Ia juga menyapu bibir dengan sapu tangan yang disediakan oleh pekerja di rumah itu. "Kita nggak berhak menilai seseorang yang bisa membuat orang lain jatuh hati. Mungkin, di mata kita dia banyak kekurangan, tapi di matanya dia punya banyak kelebihan," jawabnya seraya mengangkat bahu.

"Seperti kamu yang nggak bisa lepas dari Giyan?" ejek Titan. "Punya dua adik perempuan sama aja kelakuan hatinya."

"Lebih baik daripada udah berumur masih belum punya pendamping," balas Krystal sarkas.

"Punya pendamping atau nggak bukan suatu permasalahan selama aku bisa bahagia. Punya pasangan terkadang bisa bikin sakit kepala. Kalian berdua contohnya. Disakiti, galau, bucin. Haduuh."

Tidak ingin melihat kedua anaknya adu mulut terkait pendamping hidup, Mauri penasaran dengan persiapan pernikahan Krystal. Sejak pekan lalu, putrinya itu belum bercerita apa pun mengenai pernikahan mereka.

"Tema pernikahan yang kamu inginkan bisa terwujud, Tal?" tanya Mauri segera dengan mata berbinar.

"Kemungkinan besar bisa, Ma. Kami udah membicarakannya minggu lalu," jawab Krystal santai.

"Giyan kenapa nggak kemari setelah kalian ketemu WO? Udah lama juga dia nggak main ke rumah." Kini giliran Cakra yang bertanya. Benar adanya, calon menantunya sudah tidak pernah berkunjung hampir satu bulan belakangan. Biasanya ia akan bermain hampir setiap pekan.

"Kerjaan di kantor lagi kejar-kejaran, Pa. Papa tahu, kan, kami bakal meluncurkan produk baru. Semua bidang fokus bekerja. Aku juga nggak mau ganggu Giyan dulu sementara waktu ini," tanggapnya mencoba menutupi perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja dengan Giyan.

"Kalian lagi ada masalah, kan?" tebak Titan. "Nggak salah aku memilih untuk sendiri."

Kalimat terakhir itu memancing tatapan tajam dari Krystal. Andai ada Berlian di sini, pasti akan dibalas dengan kalimat pedas untuk membelanya.

"Setiap pasangan yang hendak menuju pernikahan pasti akan diuji. Berbagai macam caranya. Apa pun masalahnya, kalian harus sanggup hadapi. Harus bisa terus bergandengan tangan sampai nanti ke pelaminan," ucap Mauri memberi nasehat seraya mengelus rambut pendek putrinya.

Krystal hanya mengulas senyum tipis untuk menanggapi. Sejak kejadian itu, ia memang terus-terusan kesal dengan Giyan. Padahal kesalahannya hanya satu, tapi entah mengapa terasa begitu besar. Dulu, ketika ada masalah yang lebih besar ia bisa mengabaikannya.Mungkinkah ini memang benar ujian pernikahan? Atau ...? Entahlah.

Artificial LoveWo Geschichten leben. Entdecke jetzt