XXI. Termakan Omongan Lawan

79 15 0
                                    

"Kamu sekarang di mana? Luka? Lecet? Berdarah? Ada patah tulang? Patah pinggang? Terkilir? Kakak ke tempat kamu sekarang." Zay memborong semua pertanyaan begitu dapat telepon dari adiknya yang hampir tertabrak mobil. Ia padahal baru saja merebahkan punggung di atas kursinya dan hendak membuka komputer.

"Kakak dengar omonganku nggak, sih? Aku nggak apa-apa. Kucing yang mati," jawab Meykha dari seberang dengan geram.

Zay bengong sebentar. "Kenapa yang mati kucing sementara yang ditabrak kamu? Kucing jelmaan pangeran? Mey, ini bukan waktunya bercanda ya."

Meski tak terlihat, Zay mendengar helaan napas Meykha. "Kakakku sarjana tapi kenapa malah terlihat kayak lulusan TK ya. Ini bukan negeri dongeng, Kak. Aku sedih kucing itu mati karena aku. Dia seolah nyelamatin nyawa aku gitu. Kakak ngerti, kan, maksudku?"

"Kamu udah semayamkan kucingnya? Udah kamu hantarkan ke peristirahatan terakhir?" tanya Zay mengikuti alur adiknya yang terlalu terbawa suasana akan matinya kucing yang tertabrak.

"Udah, Kak. Sekarang aku lagi di jalan ke kampus. Tadi yang nabrak nolongin kubur juga. Btw, Kak, perempuan yang di mobil itu cantik. Cantik banget. Ngalahin semua mantan Kakak. Termasuk Berlian, mantan Kakak yang kata Kak Fara paling cantik itu. Tapi, dia kayaknya udah punya suami. Ganteng juga suaminya. Cocok," cerita Meykha tentang pasangan yang dilihatnya tadi. Tidak bohong, walau ia sedih dan lemas karena hampir mengalami kecelakaan, ia tetap bisa memperhatikan wajah pengendara dan memberi penilaian.

Zay menggeleng walau tidak terlihat. "Incaran Kakak pasti lebih cantik dari dia. Lagian, ngapain urus istri orang. Udah deh, Kakak mau kerja dulu. Kamu hati-hati, jangan sampai ketabrak lagi," peringat Zay dan mematikan panggilan. Mana ada perempuan yang lebih cantik dari Krystal, sambung hatinya.

"Kamu tipikal kakak yang asik ya. Pasti adik kamu sayang banget sama kamu," tutur Ratu yang sedari tadi mendengar obrolan Zay melalui ponsel.

Zay tersenyum sambil memandangi ponselnya yang masih memperlihatkan kontak Meykha. "Karena cuma dia yang aku punya," jawab Zay seadanya.

"Orang tua?" Niko tidak pernah ketinggalan untuk nimbrung dengan keduanya.

Zay menggeleng dan masih saja tersenyum. "Meninggal."

Satu kata yang membungkam Niko juga Ratu. Niko segera kembali melanjutkan pekerjaannya dan Ratu menggeserkan kursi mendekat pada Zay. Ia menepuk bahu tegap lelaki tersebut. "Kamu laki-laki hebat. Buktinya bisa menjaga adikmu. Dia juga melaporkan segala hal padamu. Itu artinya dia menghormatimu dan mengandalkanmu." Ratu mengacungkan dua jempol untuk Zay.

Zay tidak membalasnya dengan kalimat apa pun. Ia hanya tersenyum simpul dan mengangguk membenarkan. Bukan membenarkan tentang kehebatannya, melainkan tentang Meykha yang melaporkan segala yang terjadi padanya. Adiknya itu tidak menutupi apa pun darinya. Baik tentang rasa takut, sedih, kecewa, marah, bahkan ketika senang sekali pun. Ia menganggap Zay adalah tempatnya berpulang dan telinga terbaik ketika bibirnya berbicara.

Sedang ketiga anggota tim pemasaran itu melanjutkan pekerjaan masing-masing, dari arah pintu Giyan datang dengan raut wajah yang tak seceria biasanya. Mungkin rasa panik akibat kecelakaan yang disebabkannya tadi masih membekas.

Ratu, perempuan paling peka di antara para lelaki itu segera berdiri dan menyapa Giyan. "Terjadi sesuatu, Pak?"

"Hanya sebuah kecelakaan kecil," tanggap Giyan tanpa menatap anggotanya yang langsung mengarahkan pandangan padanya.

"Bapak baik-baik aja?" tanya Niko memastikan.

Giyan mengangguk. "Nggak ada korban, kok," sahutnya dan melangkah menuju meja kerja Zay. "Bisa kita bicara sebentar?"

Tentu Zay tidak akan menolak panggilan dari atasannya. Ratu dan Niko saling beradu pandang dan bertanya-tanya tentang keduanya.

Tidak perlu tempat jauh untuk mereka berbicara. Keduanya menggunakan ruang 3x3 yang biasa digunakan rapat oleh tim mereka. Ruangan tersebut kedap suara, jadi dapat dipastikan tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Maaf kalau aku tiba-tiba mengajakmu berbicara sepagi ini. Aku ingin menuntaskan rasa ingin tahuku dan melepas rasa curigaku padanmu," ucap Giyan yang sudah duduk terlebih dahulu di kursinya.

Zay sama sekali tidak mengerti maksud dari intro yang disampaikan Giyan. Ia hanya berdiri dengan tatapan biasa saja.

"Krystal memberitahuku bahwa pekan lalu kamu yang menemaninya bertemu WO. Kenapa bisa begitu?" Akhirnya Giyan melepaskan juga pertanyaan yang sudah disimpannya berhari-hari. Ia tidak bisa bekerja dengan seseorang yang mencurigakan. Terlebih, anak baru ini menyenangkan dan memiliki bakat yang bagus untuk perusahaan mereka. Jangan sampai kesalahpahaman yang tak terselesaikan berujung buruk bagi keduanya.

Zay mengangkat telunjuknya setelah mendengar pertanyaan Giyan. "Ah, itu. Kebetulan saya ada di sana dan melihat Bu Krystal. Perempuan di sana, aku lihat name tagnya Nana, mengira bahwa saya adalah Anda karena kami sedang berbincang. Saya hanya berniat menolong karena berpikir kasihan Bu Krystal dipikir nggak punya pasangan ketika mengurus pernikahannya sendiri. Saya lancang ya, Pak? Maaf, Pak, saya nggak niat macam-macam, kok. Mana berani saya dengan pasangan atasan," jelas Zay dengan sedikit rasa bersalah yang dibuat-buat di ujung penjelasannya.

Giyan mengibaskan tangannya untuk menepis kesalahpahaman Zay. "Bukan begitu. Saya hanya terkejut ketika Krystal berkata kamu yang menemaninya. Mendengar penjelasan kamu saya jadi lega. Lagi-lagi saya berutang budi padamu. Terima kasih ya," ucap Giyan yang termakan penjelasan Zay.

"Bukan hal besar yang harus diutangin, Pak. Tapi, kalau Bapak merasa berutang, saya nggak masalah, sih," tanggapnya dengan cengiran yang disahuti tawa Giyan.

"Sepertinya saya bisa mengandalkanmu kalau-kalau saya memiliki kendala. Krystal pasti udah terbiasa dengan bantuanmu." Giyan mengungkapkan isi pikirannya yang disambut teriakan di dalam hati Zay.

Zay berdeham mengontrol kesenangan dalam dirinya. "Saya siap, Pak. Mana mungkin saya menolak permintaan Bapak," jawabnya dengan kebanggaan pada diri sendiri.

Giyan menepuk-nepuk pundaknya dan meninggalkan Zay terlebih dahulu untuk kembali ke ruangan tim pemasaran.

Zay menatap punggung Giyan dengan senyum khasnya. Ternyata kamu terlalu mudah untuk mengikuti permainanku. Terima kasih telah bergabung dalam permainan ini dan membuatnya semakin menyenangkan.

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang