XLI. Tempat Mengadu

108 17 0
                                    

Sangat sulit bagi Krystal untuk menyehatkan akal pikirannya sekarang. Dengan emosi yang menguasai diri, Krystal mengendarai mobilnya mengikuti Giyan. Ingin sekali ia mengetahui kemana lelaki itu akan pergi. Akankah menemui selingkuhannya? Krystal tersenyum samar meratapi nasib buruknya. Beruntung, air matanya sangat tangguh untuk tidak mengalir sekarang. Entah apa yang akan dilakukannya jika memang harus melihat Giyan dengan perempuan lain nantinya.

Mobil Giyan berhenti tepat di depan toko bunga. Dari kejauhan Krystal menyaksikannya dengan tersenyum miris. Apakah kekasih gelapnya menunggu di sana? Tidak ada. Giyan keluar dari toko tersebut seorang diri dengan sebuket bunga di tangan kananya. Wajahnya merekah bahagia, sebahagi ketika bersama Krystal dulunya.

Krystal segera mengambil ponsel dan menghubungi panggilan tercepatnya yang berada di angka 2. Dapat Krystal saksikan Giyan yang masih berdiri di depan toko mengangkat panggilannya dengan ekspresi biasa saja, tidak sebahagia awalnya.

"Kamu lagi di mana? Aku cari di kantor nggak ada." Krystal sekuat tenaga mengontrol nada bicaranya. Menahan dengan baik intonasi sedihnya.

"Oh, aku nggak sempat kabari, tadi bapak menelepon untuk menemaninya ke Dokter."

Krystal tertawa garing. "Dokter? Baiklah. Salam untuk dia."

Tanpa menunggu respons Giyan, Krystal langsung memutuskan panggilan keduanya. Tidak pernah ia menyebut kata dia untuk orang tua Giyan. Ia selalu berlaku sopan. Kali ini ia menggunakan sebutan tersebut karena tahu bukanlah Bapak Giyan tujuannya, melainkan perempuan tidak berharga yang telah dengan berani masuk dalam hubungannya.

Krystal banting setir menuju arah yang berbeda. Sudah tidak ada niat ia mengikuti Giyan lagi. Dibohongi secara terang-terangan begini sudah sangat menyakitinya. Ia tidak sudi menyaksikan kemesraan yang mungkin akan diperlihatkan nanti.

Entah arah mana yang hendak dituju oleh Krystal. Ia hanya berkendara tanpa tujuan. Pikirannya tidak fokus pada apapun selain Giyan. Inikah alasan Giyan tidak pernah mau menemaninya bertemu WO? Inikah cara Giyan untuk meminta pernikahan mereka dibatalkan? Lantas, kenapa masih dilanjutkan? Apa niat sebenarnya dari semua ini? Kalau memang tidak ingin menikah, memiliki kekasih baru, bukankah lebih baik langsung diutarakan daripada mengulur waktu dengan cara keji seperti ini?

Mobil Krystal tepat berhenti di depan rumah minimalis yang baru sekali dikunjungi. Ia menyandarkan kepala pada jok mobil sambil mencoba mengurai kembali apa yang terjadi. Kini, ia berakhir di depan rumah Zay. Mungkin tujuannya untuk mengunjungilah yang membawanya ke tempat ini. Tapi, ia tidak membawa bingkisan apa pun. Ia lupa. Benar-benar tidak teringat lagi. Akankah Zay mau menjamunya yang tidak berkunjung dengan cara yang layak?

Ia mengetuk pintu berwarna krem tersebut tanpa tenaga. Sungguh, ia tidak bersemangat. Ah, andai ia tidak turun dari mobil dan memilih pulang. Semestinya itu menjadi lebih baik.

"Bu Krystal?" sapa Zay begitu membuka pintu. Ia melihat sekeliling Krystal. "Tepat seperti tebakan saya. Saya udah siapkan makan siang untuk kita berdua. Ayo masuk." Zay begitu gegabah menarik pergelangan tangan Krytal, dan perempuan itu dengan pasrah membiarkan dirinya digeret ke ruang makan. Tidak ada protes sama sekali.

Aroma makanan mulai menyusup ke rongga hidung milik Krystal. Tidak terbantahkan bahwa segala hidangan yang disiapkan oleh Zay ini terlihat nikmat. Berhubung ia sudah pernah menikmati olahan Zay, maka yang ini juga tak perlu diragukan. Ada tiga menu masakan khas Indonesia yang ditata di atas meja. Lelaki itu mengaku tidak sehat, tapi sempat menyiapkan semuanya sebelum Krystal datang. Seolah tahu bahwa Kystal lah yang butuh energi sekarang. Energi untuk menerima kenyataan pahit dalam salah satu takdir buruknya.

Zay mengambil piring, menyendok nasi panas ke atasnya, menaruh lauk pauk di pinggiran, dan menghidangkannya tepat di depan Krystal. Perempuan itu muram tanpa senyum. Gurat kesedihan terlihat begitu jelas.

"Ibu pasti merasa bersalah karena saya yang harus menyiapkan semua ini, kan? Ah, santai aja, Bu. Ini bukan hal ribet kok. Sekalipun saya sedang sekarat atau bahkan koma, saya tetap bisa masak kalau Ibu yang datang," bualnya dengan tujuan menghibur.

Tidak ada balasan seperti biasanya. Malah sebaliknya, Krystal menangis histeris membuat Zay kaget. Krystal menangis sejadi-jadinya. Segala rasa sakit yang sedari tadi ditahannya kini ia tumpahkan di hadapan Zay.

Zay tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Ibu segitu sedihnya karena membiarkan saya masak seorang diri? saya benar-benar nggak apa-apa, Bu. Suwer!" Ia turut mengacungkan dua jari.

"Bilang sama aku semua itu bohong, Zay! Semua yang terjadi ini prank!" teriak Krystal tersedu-sedu.

"Lah, mana bisa dimasakin enak begini dikata prank, Bu. Saya tulus ikhlas masak untuk Ibu. Padahal lagi sakit, lho." Zay gelagapan menghadapi bos nya yang tidak jelas ini.

"Ini bukan tentang masakan." Krystal membuang lendir hijau dari hidungnya pada tisu yang disediakan di atas meja. "Ini tentang perselingkuhan Giyan!"

Zay membolakan matanya mendengar fakta yang diucapkan Krystal. "Selingkuh? Giyan? Kenapa bisa? Kurang apa kamu? Ya ampun dasar laki nggak tahu diuntung? Selingkuhannya cantik? Seksi?" cerocos Zay tanpa memahami perasaan Krystal sama sekali.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengeraskan tangisan Krystal. Sungguh, tangisan ini memekakkan telinga Zay. Bahkan adiknya saja tidak pernah menangis sekencang ini.

"Apa kurangnya aku sampai harus diselingkuhi? Selama ini aku kemana-mana sendiri mengurus semuanya, tapi dia sibuk dengan perempuan lain. Huhuhu." Krystal menyuapi dirinya dengan nasi yang disiapkan oleh Zay. Sakit hati membuat perempuan itu butuh asupan untuk menambah energi.

Zay menambah terus lauk ke dalam piring Krystal. Mendengar rentetan curahan hati dalam kondisi mulut penuh makanan. Zay harus memasang telinga baik-baik agar tidak salah tangkap.

"Dia pacar pertama aku. Aku pertahankan sampai kami tamat kuliah dan bekerja. Aku bertahan karena aku yakin dia lelaki yang tepat untuk diri aku. Dia bertanggungjawab, memiliki pola pikir ke depan, nggak ketergantungan. Apa usia hubungan kami yang hampir sepuluh tahun ini membuat dia muak? Karena itu dia mencari selir? Kenapa nggak obrolin dulu dengan aku apa-apa yang nggak menyenangkan dalam hubungan ini? Kenapa ambil keputusan sendiri begitu aja? Sekarang mau gimana? Aku harus ngomong apa sama keluarga aku? Sama WO? Aku udah panjar juga."

Piringnya sudah kosong, hanya berisikan kuah sisa sedikit lagi. Zay ingin menambahkan lagi, tapi kasihan kalau nanti tubuh cantik Krystal harus membengkak karena banyak asupan sekarang.

"Lebih baik kamu berpisah dengannya sekarang, daripada dia main di belakangmu nanti saat kalian udah resmi. Kamu masih dilingkari keberuntungan dengan kebenaran ini," tanggap Zay sembari menyeka sisa makanan di mulut Krystal dengan tisu.

Krystal tersenyum miring. "Aku sempat menertawakan adikku karena harus galau saat putus dengan kekasih gilanya itu. Sekarang, giliranku yang menertawakan diri sendiri karena bernasib sama," ratapnya.

Zay menelan saliva kala Krystal menyebutnya gila. Sepertinya Krystal menyimpan dendam hebat untuknya selaku mantan Berlian.

"Mau aku bantu carikan informasi tentang selingkuhannya itu? Mungkin kamu akan lebih tenang saat tahu siapa dia," tawar Zay dalam posisi fokus menghadap Krystal. Matanya menyorotkan kesungguhan.

"Untuk apa? Hal itu nggak akan membuat dia kembali."

"Kalau dia lebih rendah darimu, hal itu akan membuatmu lebih tidak layak bersama Giyan. Dimana-mana orang mencari selingan yang lebih rendah dari apa yang sudah didapatkan."

Krystal menatap Zay lekat-lekat. Tatapannya sendu tapi penuh harap. Bisakah ia mempercayai lelaki ini untuk mengangkat kembali derajatnya yang telah dihempaskan Giyan selama ini?

Artificial LoveWhere stories live. Discover now