XLII. Ternyata "Teman"

73 9 0
                                    

Sudah sore hari tapi Krystal belum berniat meninggalkan rumah Zay. Haruskah diakui ia terlalu nyaman bercerita pada lelaki ini? Zay bisa melayaninya sebagaimana maunya perempuan. Mungkinkah ini karena Zay hanya tinggal berdua dengan adiknya yang perempuan? Karena inikah ia lebih bisa memahami perempuan? Oh, ini maknanya ia menganggap Krystal seperti adiknya? Kesimpulan yang tidak begitu menyenangkan.

Zay membaringkan tubuhnya di sofa hanya untuk menemani Krystal yang ingin mengalihkan pikiran dengan menikmati tontonan horor. Tidak. Zay tidak terjaga. Ia tertidur lelap dengan bunyi napas yang teratur.

Krystal dapat memahaminya. Lelaki itu dengan sigap menyuguhkannya makanan dalam kondisi tidak sehat. Mendengar keluh kesahnya yang tidak ada hubungan sama sekali dengan Zay, dan tetap memberi tanggapan yang bisa diterima. Tidak menyuruhnya pulang sama sekali dan membiarkannya menonton sesuka hati.

Melihat Zay yang pulas di sampingnya, beberapa pernyataan muncul dalam benaknya. Beruntung sekali perempuan itu. Perempuan yang kala itu kulihat di taman. Dia pasti kamu perlakukan layaknya ratu.

Mengingat Zay yang sudah memiliki kekasih, Krystal tersadar bahwa yang dilakukannya sekarang bukanlah hal yang tepat. Tidaklah benar berlari pada lelaki yang telah memiliki kekasih. Ia tidak boleh menjadi perusak hubungan orang lain. Bisa kacau jika terjadi kesalahpahaman yang tak terduga. Sama halnya dengan yang Giyan tanggapi pada mereka berdua.

Krystal segera mengambil tas dan ponselnya. Mematikan layar besar yang belum selesai menayangkan film horornya. Tanpa berpamitan, Krystal bergegas menuju pintu. Untuk Zay, nanti ia akan mengirim pesan singkat saja.

Nasib baik tidak berpihak padanya. Begitu pintu dibuka, ternyata perempuan yang tadi muncul dalam pikirannya sekarang sedang berada di depan pintu dengan tangan terkepal. Sepertinya ia hendak mengetuk. Krystal menelan salivanya dengan kikuk. Wajahnya merasa bersalah. Ia seperti maling yang tertangkap basah.

"Kenapa kamu di sini?" Pertanyaan yang lumrah bagi siapapun yang menemukan perempuan lain keluar dari rumah kekasihnya, pikir Krystal.

"A-aku. Bukan seperti-"

"Zay mana?" tanyanya tanpa peduli dengan Krystal yang hendak menjelaskan agar tidak salah paham. Perempuan itu menyelonong masuk, melewati tubuh Krystal begitu saja.

Krystal tidak mungkin meninggalkan Zay yang akan diamuk karena kesalahan yang tidak diperbuat. Ia pun terpaksa kembali masuk dengan niat hati kembali menjelaskan apa yang belum disampaikan.

Ia melihat sesuai apa yang diduga. Perempuan itu melempar kasar sebuah bantal ke wajah Zay yang tertidur nyaman.

"Bangun, Zay. Sore-sore nggak baik tidur," teriak perempuan yang Krystal belum tahu namanya itu.

"M-maaf. Zay nggak fit, makanya dia tidur," sela Krystal berupaya menenangkan. Jika diperhatikan dengan jelas, dia sangat cantik. Wajar saja Zay memacarinya. Pipinya yang tembab dan satu titik hitam yang menempel di sana menambah kecantikannya.

Krystal memperhatikan dengan lekat. Lihatlah, alih-alih ia memaki Zay karena mendatangkan perempuan lain ke rumah, ia malah mengecek suhu tubuh Zay dan mengambilkan segelas air begitu tahu lelaki itu tidak sehat. Ada rasa iri dalam dirinya. Ataukah, cemburu?

"Kenapa berdiri aja? Duduk sini," ajak perempuan itu dengan sangat ramah.

Krystal menunjuk dirinya sendiri. Tidak salahkah yang ia dengar ini? Mana bisa seorang perempuan begitu tenang saat ada anggapan lelakinya punya perempuan lain?

"Far, kamu ngapain di sini?" suara parau Zay yang baru terjaga terdengar di telinga keduanya.

"Aku baru pulang latihan. Rencananya mau ngajak kamu main, bosan aku di rumah. Eh, ternyata kamunya malah molor. Katanya sakit, iya?" cerocos Fara sembari mengunyah cemilan dalam toples.

Zay bangkit dengan malas setelah memastikan setengah nyawanya telah menyatu dengan tubuh. "Bu Krystal mana?" tanyanya dengan cepat.

"Ya ampun, aku dari tadi ngomong, yang dicari malah Bu Bos. Tuh, di samping. Belum hilang, kok."

Krystal semakin tidak mengerti dengan pasangan ini. Kenapa mereka begitu santai menanggapi kehadirannya? Tidak ada masalahkah dengan dirinya? Atau ini tren pacaran zaman sekarang?

"Ibu mau kemana udah bawa-bawa tas begitu? Ibu mau pergi gitu aja tanpa ucapan terima kasih? Ckckck ... aku nggak nyangka Ibu punya tabiat nggak baik begitu," Zay menuding sekenanya dengan raut tidak suka.

Krystal membalas tanpa berani banyak bergerak. Ia nyaris tidak menggerakkan bibirnya, cukup memperdengar suara kecil. "Kamu nggak seharusnya ngomong begitu di depan dia."

"Dia?? Dia kenapa?"

Fara yang masih menyemil mendadak terbatuk saat Krystal mempermasalahkan dirinya. "Nggak berpikiran kalau kami punya hubungan spesial, kan?" tanya Fara to the point.

Krystal terdiam. Zay dan Fara terbahak-bahak sampai bertepuk tangan. Melihat tawa Zay sekarang, sepertinya ia tidak sakit sebelumnya.

Fara mengulurkan tangan yang disambut ragu oleh Krystal. "Saya Fara, manusia spesial dalam hidup Zay, karena cuma saya yang sanggup meladeni isi pikirannya yang gila. Saya udah menemani hidup Zay lebih dari sepuluh tahun. Ya, itu bisa dikatakan spesial, kan?"

"Dia teman terbaik saya," tambah Zay. "Kakak, adik, teman, tempat saya berlari."

Krystal merasa malu karena ternyata dirinyalah yang salah paham. "Maaf."

Mengetahui kebenaran sederhana ini, entah bagaimana Krystal harus menjelaskannya, ada rasa lega dalam dirinya. Lega mengetahui fakta, bahwa mereka tidak lebih dari teman.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 21 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Artificial LoveWhere stories live. Discover now