XXIX. Waktu Spesial

91 21 0
                                    

Krystal memenuhi janjinya untuk bertandang ke kediaman Zay guna mencicipi resep terbaru. Tidak berbohong, ia menyukai makanan yang dibuat oleh Zay, karena itulah ia bersedia melakukannya tanpa peduli isi pikiran Zay yang mungkin sedang di atas awan.

Kediaman milik Zay tidak sebesar milik keluarganya. Akan tetapi, ketika kakinya melangkah memasuki pekarangan rumah yang tidak luas, hanya ada beberapa pot yang ditumbuhi bunga, bahkan selang air tergeletak begitu saja, terasa hawa kehangatan.

Krystal tadinya mengikuti Zay dengan mobilnya agar tidak salah alamat. Ia juga sudah menghubungi Giyan dengan rencana mengajak lelaki itu ikut bersama mereka, tapi panggilannya tidak tersambung. Entah ke mana tunangannya itu, sejak pagi tadi tidak terlihat di depan mata. Berdasarkan laporan Stephanie, ia bahkan tidak menginjakkan kaki di kantor.

“Ayo masuk,” ajak Zay seraya membukakan pintu rumahnya dan menghidupkan lampu teras.

“Di rumah nggak ada orang?” tanya Krystal seraya memperhatikan ruang tamu sederhana yang berisikan empat sofa berbahankan kulit cokelat tua. Di salah satu dinding terpajang sebuah foto perempuan berambut gelombang sebahu. Di bawah matanya sedikit ada kerutan, tapi senyumnya sangat menghangatkan. Tanpa perlu diberitahu pun Krystal bisa tahu bahwa itu adalah ibunya Zay. Ada kemiripan di bagian mata dan bibirnya. Ternyata dari sanalah asal wajah tampannya.

“Adik saya kemungkinan pulang malam. Kalau keberatan duduk di dalam karena kekhawatiran, bisa duduk di luar,” ujar Zay sambil memutar kepala ke arah pintu.

Krystal melebarkan bola mata. “Kamu mengusir saya?” tanyanya dengan nada tidak suka.

Zay menahan tawa seraya meletakkan tasnya di atas meja. “Saya hanya memberi penawaran, mana tahu Ibu berpikir saya akan bertindak sesuka hati.”

Tidak membiarkan Zay mendengar, Krystal menggerutu pelan, “Dari awal juga kamu bertindak semaumu.”

“Sini duduk.” Zay menepuk satu kursi di depan meja bar, dan Krystal patuh tanpa sahutan apa pun.

Tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu, Zay menggulung kemejanya hingga siku dan mulai mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk peperangan kali ini. Krystal yang tidak paham dengan dapur hanya memperhatikan gerak-gerik lincah Zay yang sangat menguasai dapur. Matanya bersinar takjub. Tidak dapat dielak lagi.

Lengan kokoh milik Zay bergerak ligat di atas telenan, ketika mengaduk dalam wajan, bahkan ketika menabur beberapa bumbu ke dalamnya. Sangat menggoda.

Krystal segera menyadarkan dirinya ketika tahu apa yang muncul dalam pikirannya. Ini sama saja seperti sedang mengkhianati tunangannya.

Setelah dua puluh menit berlalu, Zay menyajikan dua macam masakan yang baru dicobanya. Benar-benar baru dicoba dan ia ingin Krystal yang pertama kali merasakannya serta memberi tanggapan. Jadi, apa yang disampaikannya di kantor tadi bukanlah bualan belaka.

“Apa perut Ibu akan aman dengan makanan pedas? Karena saya dan Meykha sulit berpisah dari yang namanya cabai,” tanyanya seraya berkelakar. Tangannya menyendok nasi hangat ke dalam piring Krystal dan kemudian menambahkan menu utama makan malam kali ini, ayam suwir kemangi bumbu Bali.

Krytal memangku dagu dengan kedua tangannya melihat Zay yang sedang menyiapkan santapannya. “Kamu bertanya setelah mengirimkan makanan untuk saya kemarin? Semestinya kamu bertanya dulu,” sindirnya.

Zay tersenyum dan tidak membalas lagi. Ia membiarkan Krystal menikmati aroma dari masakannya yang jujur saja membuat perut berdendang sejak tadi.

Krystal sudah tidak sabar sejak tadi sebenarnya untuk mencicipi makanan ini. aromanya ketika masih di wajan saja sudah sangat menggoda, ketika disajikan dalam piring ternyata memang lebih memikat. Ia jatuh cinta pada masakan ini walau belum tahu seperti apa rasanya.

Suapan pertama lolos, dan matanya memancarkan kesan nikmat yang luar biasa. Ia tidak bisa berkata apa pun dan terus saja menyuapi mulutnya yang ketagihan dengan rasa pedas dan sedikit asam yang pas di lidahnya.

“Ibu lapar atau doyan?” tanya Zay tertawa melihat Krystal melahap masakan yang dibuatkan khusus untuknya.

Jempol Krystal mengudara. “Juara. Ini benar-benar mengalahkan restoran bintang lima. Makan dengan nasi hangat sangat memanjakan perut. Kamu jago,” pujinya dengan nada cepat. Zay sampai berpikir ulang, benarkah Krystal yang barusan berbicara tanpa intonasi dingin khasnya? Apakah nasi hangat juga mampu mencairkan dinginnya seseorang? Luar biasa.

“Kamu nggak makan?” tanya Krystal dan membantu menyajikan makan untuk Zay. Ia merasa tidak enak kalau hanya ia seorang diri yang makan, sementara Zay yang sudah memasak tanpa berganti pakaian terlebih dahulu malah menontonnya saja.

“Perhatian sekali Ibu bos saya ini,” pujinya sebagai bentuk ucapan terima kasih yang terkesan menggoda.

Krystal yang semua ikhlas kini berubah menjadi beringas. Ia geletakkan begitu saja piring ke hadapan Zay. Zay yang mendapat perlakuan tersebut tertawa keras, karena baginya itu sangat lucu.

“Terima kasih Ibu udah menyempatkan diri datang berkunjung demi masakan saya.” Kini ia menggunakan bahasa dan intonasi yang begitu formal agar tidak mendapat amukan tambahan.

“Saya suka rasa masakan kamu. Karena itu saya datang,” jawab Krystal dengan jujur. Terang saja kalau jawaban itu membuat Zay bergeming. Selama ini ia mendekati perempuan dengan keahliannya dalam menggoda dan berkata, perempuan di depannya ternyata berhasil mendekat karena masakannya.

“Saya suka telur gulung siang itu. Dan sepertinya kamu menyadari hal itu makanya makanan yang kamu kirim siang kemarin ada telur gulugnya dan sekarang pun ada,” lanjut Krystal seraya menyantap telur gulung kesukaannya.

“Hal sederhana terkadang memang lebih istimewa dari yang luar biasa,” gumam Zay.

“Tepat. Sebagian orang berpikir pergi ke tempat makan mewah, memesan makanan yang namanya terkesan wah, padahal rasanya biasa saja. Masakan kamu punya kelezatan tersendiri dan karena itu saya suka,” papar Krystal dengan raut wajah serius. Sepertinya ia benar-benar sedang memainkan peran yang diminta, memberi penilaian terhadap masakan Zay malam ini.

Zay tidak ingin kehilangan kesempatan. Ia pun menawarkan, “Gimana kalau sesekali saya bawakan Ibu masakan dengan menu yang berbeda-beda? Ibu akan menjadi pimpinan paling beruntung karena bisa merasakan nikmatnya semua makanan yang saya beri.”

Krystal memandang lelaki di depannya dengan lirikan tajam. “Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Nggak mungkin kamu melakukan semua ini tanpa imbalan atau tujuan tertentu,” tiliknya.

Zay menyeringai. “Sepertinya saya ketahuan. Ibu yakin nggak akan nyesal mendengar keinginan saya?”

Krystal masih memaku. Ia hanya butuh jawaban bukan pertanyaan sebaliknya.

“Saya tertarik dengan Bu Krystal.”

Artificial Loveजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें