XVIII. Perhiasan Incaran

71 17 0
                                    

Zay tiba di rumah lebih dulu daripada adiknya. Ia melihat jam yang melekat di dinding. Jarum pendek sudah di angka delapan. Ia juga mengecek ponsel, mungkin saja adiknya ada mengirim pesan. Nihil.

Seraya menunggu adiknya pulang, yang mungkin masih mengerjakan tugas bersama teman-teman atau mencari bahan tambahan untuk skripsi, Zay melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Bermain di dapur sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi Zay. Ia suka mempelajari resep-resep makanan terbaru untuk dicoba, dan jika Meykha suka maka ia akan sering memasaknya. Zay sangat berusaha keras untuk menjadi ibu bagi Meykha. Ketika ia berkumpul bersama teman-teman yang merantau, mereka selalu mengatakan rindu masakan ibu. Agar ia tidak mendengar kalimat itu dari adiknya, maka ia harus bisa menjadi ibu yang tepat untuk adik semata wayangnya.

Kali ini ia menggunakan daging yang tersisa di kulkas untuk disemur serta membuat es buah untuk cuci mulutnya. Meykha pasti akan bisa tidur nyenyak setelah menyantap masakanannya kali ini.

Selagi masakannya memanas di atas bara api, terdengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Karena rasa penasaran, ia mengintip dari balik jendela. Di sana Meykha sedang berbicara dengan seorang laki-laki yang tidak asing bagi Zay, tapi tidak pula diingatnya siapa itu.

"Kak Zay cepat pulang hari ini," sapa Meykha begitu masuk dan mencium aroma yang menggugah selera dari dapur.

"Kakak yang kecepatan atau kamu yang telat?" sindir Zay seraya mencicipi masakannya. "Siapa dia?" tanyanya langsung.

Meykha mencolek pinggul Zay. "Kakak ngintip ya? Penasaran? Pengen tahu?" godanya.

Tanpa menunggu tanggapan Zay, Meykha lekas memberi tahu. "Itu Anza, teman kampusku. Ganteng, kan?" Bukannya takut diomeli, perempuan berwajah imut ini malah memuji teman lelakinya.

"Pacar kamu?" tembak Zay tanpa pengiring.

Meykha berpikir sejenak, sepertinya hubungan mereka belum sejauh itu. "Mungkin sebentar lagi," jawabnya dengan cengiran.

"Kakak nggak pernah ngebatasi kamu berteman dengan siapa, tertarik dengan lelaki seperti apa. Tapi, kamu harus ingat, kamu perempuan. Jaga pergaulan, jaga sikap, dan paling penting adalah jaga hati. Jangan mudah terbuai dengan omongan laki-laki. Kalau kamu sakit hati, kakak juga yang repot," peringat Zay terlihat persis ibu-ibu yang menasehati anaknya.

Melihat daging yang hampir masak, Meykha segera menyendok nasi ke piring. Perutnya sudah berbunyi karena aroma kenikmatan ini. "Andai Kakak memperingati diri sendiri seperti itu. Kakak pernah memikirkan karma nggak? Gimana seandainya kalau aku disakiti oleh lelaki seperti Kakak yang menyia-nyiakan banyak perempuan yang tergila-gila dengan Kakak?" balas Meykha seenaknya.

Zay turut menuangkan es buah ke dalam mangkuk kecil untuk disantap adiknya. "Kakak nggak pernah niat untuk sia-siakan mereka. Perasaan itu nggak bisa dipaksa, Mey. Kalau perasaan Kakak untuk mereka udah sirna, mau dikatakan apa? Dilanjut cuma akan memperparah keadaan. Seandainya mereka tahu selama menjalin hubungan itu Kakak udah nggak ada rasa, mereka bakal marah dan sakit hati, kan? Makanya lebih baik diakhiri aja," bantahnya.

"Susah emang ngomong sama tukang kibul," simpul Meykha cepat. Sendok demi sendok masuk ke dalam mulutnya. Ia benar-benar suka makan malam kali ini.

"Kakak beberapa waktu ini lagi lowong ya?" Meykha kembali mengajukan pertanyaan karena sebatas ingin tahu. "Aku nggak pernah lihat Kakak telponan lagi dengan perempuan belakangan ini."

Keadaan yang berbeda memang membuat Meykha sadar ada yang tidak biasa dari kakaknya. Perempuan yang biasa dipacari oleh kakaknya, rata-rata tipikal bucin akut. Setiap hari selalu ponsel berdering karena pacarnya ingin telponan. Entah apa yang dibicarakan setiap waktu.

"Target kali ini beda dari biasanya. Nggak mudah untuk didapatkan. Bukan perempuan sembarangan," sahut Zay antusias.

"Dula Kakak pernah pacari yang namanya Berlian. Apa mungkin sekarang Emas? Atau Krystal sampai sulit sekali didapatkan?" celetuk Meykha asal.

Zay menjentikkan jari. "Pintar kamu. kakak nggak akan pacari siapa pun kalau nggak bisa dapati dia."

"Berarti Kakak akan pacari orang lain setelah dapati dia? Faedahnya apa dong ngejar dia kalau ujung-ujung ditinggal juga?"

Zay membuang napas kasar mendengar kesimpulan adiknya. Tidak salah sepenuhnya, tapi yang dimaksudnya tidak demikian.

"Kakak benar-benar jatuh cinta dengan perhiasan kali ini sampai rela nunggu untuk dapatkan dia?" Kali ini Meykha bertanya dengan serius. Setahunya, Zay bukan tipikal penunggu. Ia akan melewatkan seseorang yang dikiranya tidak akan didapatkan. Ini terlalu berbeda dari Zay yang dikenalnya.

Tidak menjawab pertanyaan serius dari Meykha, Zay malah menyunggingkan sebuah senyuman yang tidak dapat diartikan. Ia malah mulai sibuk membayangkan Krystal dan bertanya-tanya sedang apa perempuan istimewa itu sekarang.

Artificial LoveWhere stories live. Discover now