XXVIII. Zay Si Penggoda

109 19 0
                                    

Jika sebelumnya Zay memberi makanan untuk Krystal via kurir, kali ini ia memberanikan diri untuk mengajaknya secara langsung. Tentu ia tidak blak-blakan berkata pada Stephanie akan mengajak bosnya itu makan siang, melainkan menggunakan dalih konsultasi gambar yang akan digunakan untuk iklan mendatang. Alasan tersebut pun tidak dapat ditolak oleh Krystal untuk mengizinkan Zay masuk ke dalam ruangannya,

“Wah, ruangan pimpinan memang berbeda,” kagumnya seraya menyisir seisi ruangan yang lumayan besar ini.

“Kamu sedang protes untuk meluaskan ruangan kerja kalian?” tuding Krystal dengan tangan yang terlipat di dada.

“Eits, ibu bos selalu suuzon sama saya. Kenapa, sih, Ibu sejak awal kayak risih gitu dengan saya? Padahal kita belum kenal, lho.” Pertanyaan tersebut bukan dilontarkan karena iseng, tapi karena memang Zay penasaran. Jika yang dikatakan oleh Ratu dan Niko, Krystal adalah tipikal yang tidak akan menggubris hal yang tidak penting, tindakan ini berbanding terbalik yang terjadi padanya. Krystal menggubris dirinya dengan cara berbeda.

“Karena kamu sejak awal menunjukkan kepribadian yang menyebalkan. Cara kamu menatap saya seolah kamu ingin menggoda saya,” jawab Krystal apa adanya tanpa menutupi sesuatu apa pun. Setidaknya, kalau pun ia salah maka Zay akan meluruskannya. Bukankah begitu?

Zay menahan senyum mendengar jawaban Krystal. Sementara Krystal menyatukan alisnya karena heran dengan respons yang ditunjukkan oleh bawahannya tersebut.

“Jadi, Ibu tergoda dengan saya? Karena itu Ibu selalu ketus menjawab pertanyaan saya? Ya ampun, Ibu, jangan gitu banget dong. Jadi malu saya,” timpal Zay seraya menutup wajahnya pura-pura malu.

Krystal refleks memasang tampang masam dan menatap Zay dengan kekesalan yang menumpuk. Ia bangun dari duduknya dan berjalan putar melewati meja kerjanya untuk berhadapan langsung dengan Zay. “Ini nih yang saya maksud. Kamu itu seakan menggoda saya, bukan saya yang tergoda. Tingkah kamu seakan kita udah dekat, padahal saling tahu nama aja belum sebulan,” ketusnya.

“Ternyata Ibu ingat saya hampir sebulan di perusahaan ini. Sepertinya saya benar-benar membekas di pikiran Ibu,” simpul Zay yang semakin membuat Krystal berdecak kesal.

“Saya nggak ngerti, ya, kenapa ada manusia seperti kamu. Menyebalkan. Terlalu percaya diri. Nggak tahu malu.”

“Kata orang, yang menyebalkan sering bikin kangen, Bu. Ibu siap-siap ya mulai hari ini bakal kangen dengan saya,” peringat Zay dengan memainkan sebelah matanya yang menambah rasa geram Krystal. Rasanya, Krystal ingin mengacak-acak wajah Zay yang memasang tampang tak berdosa itu, dibubuhi senyum manis dengan mata yang menyipit.

Krystal menarik napas sambil memejamkan mata dan kemudian mengembusnya pelan. Dipercaya ini bisa membantunya meredakan emosi. Tidak akan cukup waktunya kalau harus meladeni Zay yang punya sejuta kalimat untuk membalas ketusannya.

“Jadi, kamu ke sini ada apa? Mana yang mau kamu tunjukkan?” Krystal kembali berbicara dengan intonasi normal. Walau gaya tubuhnya telah berbeda—berkacak pinggang dengan sebelah tangan bak model yang mau berjalan di karpet merah.

“Ah, karena asik ngobrol saya sampai lupa tujuan pentingnya. Gara-gara Ibu ini,” balas Zay mengalihkan salah pada atasannya. Walau tidak terima dengan serangan tersebut, Krystal tidak akan mempermasalahkannya. Ia sadar, itu akan menjadi semakin panjang jika dilanjutkan.

Zay membuka sebuah file yang sudah disiapkannya. Selama tiga hari berturut-turut ia menyiapkan empat ikon yang mewakili masing-masing shade lipstik yang akan diluncurkan nanti.

Mata Krystal melihat teliti pada keempat ikon tersebut. Masing-masing ikon tersebut memiliki kesamaan, yakni seorang perempuan imut dengan berbagai ekspresi—jatuh cinta, tertawa, sedih, dan mewah. Walau tidak disampaikan, Krystal menangkapnya.

“Kenapa ada yang sedih?” tanyanya penasaran.

“Ikon ini saya ambil atas dasar mood perempuan yang sering nggak menentu. Bisa berubah kapan pun. Sepertinya untuk tiga yang lain Ibu bisa menangkap maksudnya. Untuk yang sedih, saya ingin menyampaikan bahwa walau kalian—para perempuan—bersedih, itu nggak akan pernah memudarkan rasa cantik dari diri kalian. Apalagi kalau pakai lipstik ini. Gitu maksudnya,” jelas Zay diakhiri dengan senyum merekah.

Entah apa yang terjadi di dalam diri Krystal, ia menyukai gagasan itu. Terlebih ia suka pada kalimat yang dilontarkan Zay seolah sedang berkata untuk dirinya sendiri. Itu kalimat yang sangat menghibur, dan rasanya setiap perempuan butuh kalimat itu untuk bisa tetap berdiri di atas kakinya sendiri.

“Aku suka konsepnya. Lanjutkan,” titah Krystal.

“Serius? Semudah itu? Tanpa revisi? Kenapa mudah sekali pekerjaan ini? Apa saya bisa fokus menggambar aja?” tanya Zay beruntun saking senangnya.

“Buka aja kelas menggambar kalau kamu mau fokus menggambar,” ketus Krystal seraya kembali ke tempat duduknya.

Zay menyengir nakal. Ia pun mengetuk-ngetuk meja dengan dua jari. “Nggak mau beri apresiasi sebagai bentuk kerja keras tanpa revisi?”

“Apa lagi maumu sekarang? Kamu digaji untuk kerja keras itu,” jawab Krystal.

“Saya rasa Ibu suka masakan saya. Saya kebetulan sedang mencoba resep baru. Ibu mau coba nggak? Mana tahu itu juga tanpa revisi,” tawar Zay waswas. Ini bukan waswas yang disengaja. Ia takut ditolak dan akan sulit untuk menemukan momen mereka bersama nantinya.

“Oke.”

Hanya satu kata itu. Tidak lebih. Zay melebarkan matanya. Ia tidak salah dengar? Ia boleh berteriak sekarang? Apa alasannya? Kenapa tidak ada bantahan seperti biasanya? Hey, apa yang terjadi ini?

Artificial LoveWhere stories live. Discover now