XXIV. Fakta Baru

93 17 0
                                    

Meykha sudah tiba di depan sebuah bangunan tiga lantai. Tidak tinggi memang, tapi bangunannya mewah dan menunjukkan bahwa ini perusahaan maju. Mata Meykha berdecak kagum melihat bangunan yang dilapisi kaca tersebut.

"Kakak kamu kerja di sini juga?"

Meykha tidak datang seorang diri. Ia ditemani oleh Anza, teman kampus yang sempat mengantarnya beberapa malam lalu.

"Juga?" Tekan Meykha pada satu kata itu. "Ada seseorang kenalanmu yang bekerja di sini?"

"Kakakku bekerja di sini sejak lima tahun lalu," balas Anza membuat Meykha kembali kagum.

"Hebat kakakmu bisa bertahan selama ini. Aku ragu kakakku akan bertahan. Belum juga sebulan dia di sini," ledek Meykha terhadap kakaknya yang tidak di tempat.

Anza tertawa menanggapi perempuan yang rencananya akan dijadikan pacarnya tersebut. Entah kapan ia akan menyatakan perasaannya.

"Pasti betah. Orang-orang yang bekerja di perusahaan ini baik. Pemiliknya juga baik," sahut Anza dengan dua ibu jari yang mengacung.

"Kamu kenal—"

"Anza?"

Kalimat Meykha terpotong dengan kehadiran seorang perempuan berpenampilan formal dengan rambut sebahu khasnya. Meykha mencoba mengingat, di mana ia pernah melihat perempuan cantik ini.

"Kamu Meykha, kan?" tanyanya dengan tarikan sudut bibir yang sewajarnya, tidak terlalu sumringah, tapi tatapannya tetap ramah.

"Kak Krystal kenal Meykha?" tanya Anza memandang Krystal dan Meykha secara bergantian.

Meykha menepuk jidat. Ia baru ingat sekarang. "Ya ampun, maaf, Kak, aku nggak begitu ingat. Kakak kerja di sini juga?"

Krystal mengulum senyum dan hendak menjawab, tapi lebih dahulu diwakili oleh Anza. "Kak Krystal pimpinan perusahaan ini."

Mata Meykha membulat tidak menyangka. Mulutnya yang terbuka pun segera ditutup dengan kedua tangan. Memorinya segera mengingat kecelakaan tempo hari dan ternyata yang menabraknya adalah pimpinan kakaknya sendiri. Ini berita heboh. Ia harus memberitahu Zay segera.

"Apa yang membuat kalian ke sini? Penelitian, kah?" tanya Krystal. Pertanyaannya menjurus ke penelitian disebabkan ia tahu Anza, adik tunangannya, sedang mempersiapkan skripsi, walau tidak tahu tentang apa spesifiknya.

"Bukan, Kak. Meykha mau nemuin kakaknya," jawab Anza sopan.

"Kakakku ketinggalan tablet di rumah. Dia pasti lagi kesusahan sekarang. Dia paling nggak bisa nggak bawa tablet, karena kalau bosan dia bakal menggambar biar moodnya balik lagi," terang Meykha tentang tujuannya.

"Kakakmu? Menggambar? Siapa?"

"Zay Aarush." Meykha menyebut nama kakaknya lengkap.

Krystal menelan saliva dan melihat Meykha lebih detail dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia adik lelaki itu? Nggak ada mirip-miripnya.

"Ikut aku. Aku akan membawamu padanya," ajak Krystal pada dua mahasiswa tersebut.

***

Zay mondar-mandir di ruang kerja. Sembari menggigit jari, ia berpikir apa yang harus dilakukan ketika otaknya kehilangan ide. Biasanya dia akan menggambar untuk memancing pikiran dan ide baru. Nyatanya, ia melupakan tablet yang diletakkan begitu saja di atas meja makan.

Ratu dan Niko hanya memperhatikan gelagatnya tanpa bertanya. Mereka sedang dikejar deadline untuk tugas mereka sendiri. Bukan egois, tapi jika mereka mengobrol dan tidak menyelesaikan pekerjaan, yang kewalahan mereka juga nantinya.

Zay pun memutuskan ke pantry untuk menyeduh secangkir kopi dan melanjutkan langkahnya menuju taman belakang. Biasanya, menatap langit cerah akan membantu menenangkannya, walau belum tentu membantu mendapatkan ide.

Satu sesap, dua sesap kopi terteguk dalam mulutnya. Ia mencoba rileks, menarik napas dan menatap langit dengan senyum. Semangat yang menurun itu kembali, tapi tidak dengan idenya.

"Kak Zay." Terdengar suara familiar meneriaki namanya. Ia pun memutar badan dan mendapati adiknya sedang tersenyum dan berlari ke arahnya. "Kakak pasti lagi badmood karena tabletnya nggak kebawa, kan?" tebak Meykha seraya menyodorkan benda pipih berwarna silver tersebut.

Zay segera mendekap adiknya detik itu juga. "Kamu peka sekali. untung kamu inisiatif ngantar ke sini. Kalau nggak, kakak bakal uring-uringan."

"Punya kakak pelupa emang mewajibkan aku untuk punya inisiatif," celetuk Meykha seraya tertawa.

"Kamu sama siapa ke sini? Udah makan? Kenapa mukamu pucat? Lipstiknya beda ya?" bawel Zay memperhatikan kondisi adiknya.

Meykha berdecak. Bukan dia tidak suka cara Zay bertanya, tapi ia selalu demikian tanpa memandang tempat. Apalagi, di sana ada Anza, lelaki incarannya. Bagaimana jika lelaki itu menganggap kakaknya aneh karena over protective? Namun, ia tidak menyahut dengan nada jengkel karena tetap ingin menghargai kekhawatiran kakaknya yang berlebihan tersebut.

Meykha menunjuk ke arah Anza yang berdiri di samping Krystal. "Aku pergi dengannya."

Zay mendekatkan bibir ke telinga Meykha, dan berbisik, "Dia lelaki malam itu, kan?"

Dikarekan rasa malu, Meykha mencubit pinggang Zay hingga lelaki itu mengaduh pelan.

"Salam kenal, Kak. Saya Anza, teman Meykha." Anza mengulurkan tangan dengan senyum yang terulas di bibir.

"Oh, masih teman ternyata," gumam Zay. Kemudian, ia mengalihkan pandangan pada Krystal yang sedari tadi hanya berdiri memperhatikan mereka. "Ibu kenapa ada di sini ya?"

"Saya yang membawa mereka ke tempat ini," cetus Krystal dengan nada datarnya. Meykha sempat heran, karena nada bicaranya tidak seramah sebelumnya. Apa kakaknya pembuat masalah sampai kakak cantik itu menggunakan intonasi tak bersahabat?

"Ibu tahu dari mana saya di sini? Ibu—"

"Kak, semestinya berterima kasih karena udah ngantar kami ke sini bertemu Kakak, bukannya malah nanya hal nggak penting," potong Meykha cepat yang diangguki Krystal.

"Adiknya lebih baik ternyata," gumamnya dan mengalihkan pandangan pada Anka. "Kamu nggak ada rencana ketemu Giyan?"

Anza mengibas tangannya, "Nggak perlu, Kak. Di rumah juga selalu ketemu."

Ekspresi Zay yang sedari tadi hangat, kini berubah mendengar pernyataan Anza. "Kamu kenal Giyan?"

"Saya adiknya," jawab Anza begitu ramah.

Zay bergeming. Jemarinya menggenggam tablet begitu kuat. Tatapannya tidak lepas dari Anza yang masih saja tersenyum padanya. Meykha, yang selalu menyadari perubahan sikap kakaknya, bertanya-tanya apa yang dipikirkan kakaknya? Mengapa ia berubah hanya setelah tahu fakta bahwa Anza adalah adik Giyan? Memangnya siapa Giyan itu?

Artificial LoveWhere stories live. Discover now