IX. Pertikaian Kecil

122 23 3
                                    

Krystal duduk di depan meja kerjanya dengan tatapan yang fokus ke komputer. Seperti biasa, jika sedang berhadapan dengan pekerjaan, maka rambutnya yang hanya sebahu itu dikuncir agar tidak jatuh ketika menggerakkan kepala. Serta ia menambahkan kacamata bingkai hitamnya bertengger di hidung untuk menambah fokus.

Perusahaan ini akan meluncurkan lipstik dengan empat warna baru. Selaku pencinta lipstik, Krystal dua kali lebih ekstra perhatiannya untuk projek kali ini. Ia ingin perempuan mana pun merasa cantik dengan memakai lipstik merek perusahaanya. Sekali pun perempuan di luar sana tidak memakai bedak, tapi cukup memakai lipstik saja akan terlihat auranya. Itulah alasannya begitu fokus dengan kerjaan kali ini.

"Fokus sekali sayang aku." Giyan memasuki ruangan tanpa mengetuk terlebih dulu. Sudah biasa. Krystal pun tidak akan marah, dan sekretaris di depan ruangan pun tidak bisa menolak kehadiran Giyan.

Tanpa mengalihkan atensinya, Krystal hanya tersenyum.

Giyan memaklumi respons tersebut. Ia sudah terbiasa sejak masa kuliah dulu. Ketika Krystal sedang mengerjakan tugas, maka sekelilingnya akan diabaikan. Saat sudah selesai, barulah ia akan menanggapi pembicaraan.

"Masih lama?" tanya Giyan seraya memperhatikan Krystal dari kursi duduknya.

Krystal melepas kacamatanya dan mengalihkan atensi pada Giyan di depannya. Walau sedikit terganggu, tapi ia rasa ada yang hendak dibicarakan Giyan sampai harus masuk di jam kerja seperti ini.

"Ada masalah yang harus dibicarain sekarang ya?" Krystal bertanya to the point.

Giyan menggigit bibir bagian dalam, menimang-nimang bagaimana cara menyampaikan maksud hatinya. Ia menarik napas terlebih dahulu sebelum menyuarakan kalimat, "Aku kayaknya nggak bisa ikut untuk pemesanan gedung deh minggu ini."

Ada rasa bersalah dalam nada yang disampaikan Giyan. Sementara Krystal hanya mendesah ringan. Ia memutar kursi dan mengangkat langkah untuk keluar dari balik meja serta duduk di kursi samping Giyan. Dengan begini mereka akan terlihat lebih setara.

"Pernikahan kita udah di depan mata, Yan. Udah dua kali kita batal pergi untuk pesan tempat. Kalau diundur lagi, bisa-bisa tanggal pernikahan kita juga harus diundur. Kamu tahu kan, tempat itu favorit banget untuk orang-orang adain pernikahan. Telat selangkah aja udah nggak ada kesempatan. Kamu mau kita batal nikah cuma karena telat pesan gedung? Nggak elit banget alasannya. Emang apa yang buat kamu harus batalin janji kita?" Eskpresi wajah Krystal sangat menjelaskan ia tidak senang dengan kabar buruk yang dibawa Giyan.

"Aku harus bawa Papa kontrol luka kakinya ke dokter. Waktu itu dokter minta seminggu setelah dijahit untuk kembali lagi," jelas Giyan secara singkat.

Krystal tahu bahwa Papa Giyan baru saja mengalami kecelakaan yang menyebabkan pergelangan kakinya harus dijahit. Inilah sulitnya menjadi Krystal, ia paling tidak bisa membantah jika alasan yang diberikan berkaitan dengan orang tua.

"Nggak bisa hari Senin? Akhir pekan memangnya dokter ada?" Krystal masih berusaha mencari celah. Tidak berniat egois, tapi pernikahan juga penting.

"Kami udah buat janji di hari Sabtu, sayang."

"Kamu seharusnya juga ingat kalau hari Sabtu kamu ada janji dengan aku," lirih Krystal. Sedikit kejam karena ia mulai membandingkan waktu untuknya dan untuk orang tua Giyan.

Tidak nyaman, Krystal segera mengalah. "Yaudah, aku pergi sendiri aja Sabtu nanti. Aku nggak mau pernikahan kita batal atau harus pindah tempat. Kamu tahu, kan, menikah di tempat itu udah jadi incaran aku sejak lama."

Giyan mengelus puncak kepala Krystal, "Maafin aku ya. Kalau aku selesai lebih awal, aku akan susul kamu ke sana. Janji."

Krystal tidak menanggapi. Ia beranjak kembali ke kursinya dan menatap komputer dengan raut wajah kesal. Hatinya menggeram. Akan tetapi, ia juga tidak berani terlalu keras untuk protes. Pun, ia masih bisa melakukannya sendiri. Huft.

Artificial LoveWhere stories live. Discover now