XXVI. Mencari Cara

90 18 0
                                    

Zay menarik-narik rumput yang didudukinya dengan tak bertenaga. Pembicaraan di taman kantor beberapa hari lalu masih mengusiknya. Ia tidak bisa membiarkan Meykha dekat dengan Anza, tapi ia juga tidak tahu bagaimana harus melarangnya. Dapat dipastikan adiknya telah jatuh cinta pada lelaki kurus tersebut.

Zay sering memperhatikan tingkah Meykha yang suka menghabiskan waktu untuk berbalas pesan atau pun lari ke kamar hanya untuk menerima panggilan telepon. Dari siapa lagi kalau bukan Anza? Seperti hari ini, perempuan imut itu sejak pagi masih di kamar dan ketika diintip oleh Zay, ia sedang berguling di tempat tidur seraya berbicara via telepon.

Oleh sebab itu, berhubung akhir pekan, Zay memutuskan keluar dari rumah dan memilih taman dekat rumah sebagai tempat pelariannya. Menghabiskan waktu di rumah rumah pun hanya akan menambah kebimbangannya.

Satu bungkus es krim rasa blueberry muncul di hadapannya, terulur oleh sebuah tangan. Tentu saja milik sahabatnya, Fara. Perempuan itu datang ke taman setelah berolahraga dan isi perut terlebih dahulu.

“Jelek banget itu muka,” cetusnya sambil menjilat es krim cokelat miliknya.

Bukannya menjawab, Zay malah mengembuskan napas berat dengan wajah yang lesu. Jika bukan orang terdekat Zay, maka akan terasa aneh lelaki itu memasang ekspresi tersebut. Beruntung Fara sudah mengenalnya sangat lama sehingga melihat ekspresi itu sudah sangat tidak asing, malah terlalu sering.

“Gimana rencanamu? Lancar? Udah sejauh mana? Udah klepek-klepek Ibu Bos?” todong Fara dengan empat pertanyaan yang saling sambung.

Lagi, Zay mengembuskan napas berat. Kali ini diiringi dengan kepalanya yang direbahkan di pundak Fara. Jika sudah begini, Fara menjadi takut sendiri.

“Kamu kenapa? Dia nolak kamu? Dia hempaskan kamu kayak kulit pisang? Pasti sakit banget ya diabaikan begitu dengan incaran yang ditunggu-tunggu sejak lama? Kamu yang sabar ya. Hidup nggak akan berhenti uma karena kamu ditolak mentah-mentah, kok. Besok kita cari mangsa baru.” Antara menghibur atau mengasihani, Zay malah merengek karena kalimat-kalimat Fara.

“Yaah, malah makin parah,” keluh Fara. Kini ia menepuk-nepuk pundak sahabatnya yang sedang tidak baik-baik saja. “Kamu udah beneran jatuh cinta dengan dia ya? Padahal punya orang, Zay.”

“Orang yang miliki dia itu bukan orang yang tepat. Orang yang bermasalah,” hardik Zay.

“Jadi kamu benaran?” ulang Fara memastikan.

“Sebenarnya bukan karena dia aku begini. Pun, belum ada kemajuan yang signifikan antara aku dan dia. Ada hal lain yang buat aku galau sekarang,” ucapnya sembari menatap manik hitam milik Fara.

Fara tidak bersuara. Ia menatap kembali lelaki itu, menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

“Giyan punya adik laki-laki. Dan adik laki-lakinya itu sedang dekat dengan Meykha,” ungkapnya dan mulai kembali merengek.

“What? Nggak. Nggak boleh kejadian. Meykha harus kita selamatkan!” Fara mulai kelimpungan dan mengabaikan Zay yang bertingkah seperti bocah.

“Aku harus bilang apa sama Mey? Kamu harus jauhi laki-laki sia*an itu. Dia itu musuh kita. Semestinya kita menghancurkan mereka, bukan malah memberi hati untuk mereka. Gitu? Kamu tahu, kan, aku membalas dendam ini secara sembunyi-sembunyi. Kalau Mey tahu apa yang aku lakukan sekarang, dia akan benci aku seumur hidur, Far,” cerocos Zay dengan mata penuh kekhawatiran. Tidak ada hal yang paling ditakuti Zay di dunia ini selain Meykha. Ia harus mempertahankan perempuan itu untuk selalu bersamanya.

Fara memijat pelipisnya. Apa yang direncanakan Zay memang hanya dirinya seoranglah yang tahu. Ia bahkan mendukung perbuatan tidak baik Zay karena merasa Zay tidak akan pernah bisa memaafkan masa lalu yang mengakibatkan ia dan adiknya hidup seperti sekarang.

“Gimana kalau kita bicara langsung dengan laki-laki itu dan minta dia jauhin Meykha?” saran Fara ragu-ragu.

“Kalau misalnya Mey malah uring-uringan dan galau nggak jelas karena itu gimana? Nggak akan sanggup juga aku lihatnya, Far,” keluh Zay. Membayangkannya saja Zay sudah nyeri hati.

“Kamu mau dia tersakiti dengan fakta tentang siapa sebenarnya lelaki itu atau dia lebih cepat pisah dengan lelaki itu dan menangis sementara waktu? Palingan dia akan berpikir lelaki itu tipikal ghoster,” balas Fara enteng. “Dia memang akan membencimu kalau tahu tentang perbuatanmu sekarang, tapi dia juga nggak akan mau berhubungan dengan mereka kalau tahu kebenarannya. Tugas kita sekarang menyelamatkan dia agar nggak tersakiti lebih jauh. Dia nggak perlu tahu siapa sebenarnya lelaki itu dan dia pun nggak perlu menjalin hubungan lebih terikat itu,” sambung Fara lebih rinci.

Zay menimang-nimang saran Fara. Tidak ada yang salah. Kecemasannya berlebihan karena tidak ingin adiknya itu meneteskan air mata untuk orang yang tidak layak.

“Oke. Aku sepakat,” ucap Zay sembari menyalami Fara sebagai bentuk putusan akhir.

Fara mengacungkan jempol sebagai bentuk kepuasan. “Sampai kapan kamu mau mengulu waktu dapatin Ibu Bos?” tanya Fara lagi, seakan mendesak Zay untuk bertindak lebih sigap.

“Aku udah maju beberapa langkah, tapi perasaannya untuk lelaki itu terlalu besar. Aku harus memalingkan perasaannya terlebih dulu, dan itu butuh waktu,” tanggap Zay sembari menggigit bibir bawahnya.

“Jangan sampai mereka keburu menikah. Semua akan sia-sia kalau itu terjadi,” peringat Fara.

Zay menyunggingkan senyum. “Thanks kamu selalu jadi alarm dan pendukung pertamaku.”

“Oh tentu. Selain aku mana ada perempuan yang dekat sama kamu. Semua kamu perlakukan seperti sampah,” jawab Fara sambil tertawa keras menyindir sahabatnya yang segera merengkuh dan mencubit hidungnya karena kesal.

Tidak jauh dari tempat mereka, seorang perempuan berambut sebahu yang kebetulan melewati tempat itu menyaksikan tingkah keduanya. “Ternyata dia punya pacar,” gumamnya.

🍁🍁🍁
Untuk teman-teman yang mau baca lebih cepat bisa langsung ke Karyakarsa ya. Di sana udah update sampe chapter 37 💗

Artificial Loveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن