XXVII. Move On

88 16 0
                                    

“Aku bakal move on!”

Satu kalimat itu berhasil membekukan tubuh Krystal yang baru saja masuk dan sedang melepas sepatu hak tingginya di depan pintu. Ekspresi pelongonya begitu kentara, tapi tak juga mengurangi porsi cantiknya.

“Kak Krystal, ih, kenapa masih di situ. Sini, buruan. Dengar cerita aku. Ini cerita yang nggak akan dalam dalam sejarah mana pun,” ucap Berlian menggebu-gebu.

Krystal memang datang ke apartemen ini karena ada pesan singkat dari Berlian yang mengatakan ada hal mendesak yang harus diketahuinya. Padahal bisa saja Berlian yang pulang ke rumah  berhubung adik kecilnya itu yang butuh dirinya, tapi ia memilih keluar karena bosan dengan suasana rumah yang sepi—papanya yang menghabiskan waktu membaca buku di ruang kerja, mamanya yang keluar untuk arisan dengan teman-temannya, serta Titan yang memang sejak semalam tidak pulang, entah tidur di mana.

“Nih, makan,” sodor Krystal sebungkus makanan yang dibawakannya.

“Kakak beli buah pinggir jalan? Tumben,” balas Berlian dengan tatapan aneh, tapi tetap saja memasukkan satu potongan nanas ke dalam mulutnya. Manis.

“Tadi Kakak lewat taman, lihat buahnya segar-segar, beli deh,” jawab Krystal seadanya.

Berlian mengabaikan pembahasan buah yang dibeli kakaknya. Ia duduk bersila menghadap kakaknya yang memeluk bantal sofa. “Kembali ke topik utama. Aku serius bakal move on. Aku bakal lupain laki-laki itu. Udah cukup selama ini aku membiarkan diriku nggak dihargai,” ucapnya dengan tatapan membara.

“Telat banget sadarnya,” respons Krystal datar.

“Aku serius!!” teagasnya.

“Apa alasannya?”

Wajah yang semula tegas kini perlahan mulai layu. Tatapannya tak semembara tadi. “Malam itu aku ketemu dia, tapi dia malah lari ke perempuan lain. Dia meluk perempuan itu,” paparnya lemah.

“Bukannya kamu udah tahu dia emang punya perempuan lain?” Krystal tahu pasti tentang hal itu. Karena Berlian pernah beberapa kali cerita padanya bahwa melihat mantannya itu dengan beberapa perempuan yang berbeda. Sebab itulah ia muak mendengar tentang lelaki tersebut.

“Kali ini beda dengan sebelum-sebelumnya, Kak. Kalau biasanya aku melihat dia berbahagia dengan perempuan-perempuan yang digandengnya, malam itu lebih ke rasa khawatir. Khawatir yang berlebih. Seakan perempuan itu adalah dunia dia, di mana ketika perempuan itu menghilang maka dunianya akan menggelap. Aku belum pernah melihat ekspresi dan tindakannya yang seperti itu. Makanya, kupikir aku harus berhenti walau aku sakit hati. Bisa aja perempuan itu sebenarnya alasan dia dulu mutusin aku gitu aja,” terang Berlian tentang apa yang di lihatnya di toko buku.

“Kenapa nggak kamu pastikan dulu biar kamu nggak salah terka? Maksudku, benar atau nggak perempuan itu penyebabnya? Gimana kalau mungkin dia baru bertemu perempuan itu?” Krystal juga seorang yang mudah berpikiran negatif, tapi ia berusaha sebaik mungkin untuk bertanya daripada langsung berprasangka.

Berlian tersenyum hambar. “Cegatan aku aja dilepas di tengah keramaian. Dia bahkan membentak aku tanpa peduli tatapan orang lain.”

“Kamu yakin akan baik-baik aja dengan ini?” Krystal masih kurang yakin dengan putusan adiknya. Ia tahu benar, Berlian suka berubah haluan ketika ada hal kecil yang dilihat sebagai peluang nantinya.

“Orang yang paling tersakiti adalah yang paling lama mengakhiri perasaannya, tapi ketika ia mengakhiri maka seluruh hatinya memang benar-benar telah mati.”

Ungkapan tersebut membuat Krystal menahan tawa. Pasalnya, adiknya ini mendadak puitis hanya karena sedang patah hati.

“Oh iya, Kak Giyan kemarin menghubungiku, katanya ada seseorang yang ingin dikenalkannya padaku. Mungkin ini bisa kujadikan kesempatan,” ucap Berlian yang mulai kembali bersemangat.

Krystal tidak langsung menjawab. Ia mengingat apa yang tadi dilihatnya di taman. Bagaimana jika sebenarnya Zay sudah memiliki kekasih makanya malam itu dia terdengar terkejut akan saran Giyan?

“Kak, kenapa diam?” tanya Berlian seraya menggoyangkan lengan kakaknya.

“Jangan jadikan kesempatan yang datang sebagai pelarian. Kamu nggak tahu betapa sakitnya kalau dia tahu kelakuanmu,” petuah Krystal demi kebaikan adiknya sendiri. Walau benar sakit hati tidak bisa sembuh begitu saja, menyakiti orang lain dengan menjadikannya pelarian bukanlah pilihan yang tepat.

Berlian membuang napas lelah. Benar memang. Hal yang ia butuhkan adalah waktu untuk melupakan sang mantan, Zay. Bukan orang lain yang bisa menutupi bayang-bayang mantannya itu.

Artificial LoveWhere stories live. Discover now