1.1 The Silent Student

42 10 0
                                    

Tidak semua guru akan mengingat semua muridnya. Tapi lucunya, mereka malah paling mengingat anak-anak yang nakalnya kelewatan dan yang membanggakan nama sekolah karena prestasinya. Dua jenis murid seperti itu pasti selalu diingat oleh para guru di setiap angkatan. Kedengarannya memang membingungkan, tapi aku yakin akan hal itu.

Di belakang orang-orang seperti itu, ada mereka yang hanya disebutkan namanya oleh guru pada saat presensi pagi, setelah itu, mereka akan kembali lupa. Mereka yang hanya biasa-biasa saja, tidak berprestasi, tidak bandel, dan hanya mengantongi nilai pas-pasan. Aku adalah salah satu di antara mereka. Selalu berdiam diri dan tidak banyak bergaul dengan teman-teman yang lain karena merasa duniaku dan dunia mereka jauh berbeda. Mereka memiliki teman-teman yang sudah sangat dekat dan tak bisa dipisahkan. Sementara aku, hanya akan membuka mulut jika ada yang menyapaku duluan, atau jika guru memberi tugas kelompok.

Sebenarnya penampilanku tidak buruk-buruk amat. Walaupun lebih banyak diam, terkadang aku juga disapa oleh beberapa teman sekelas. Mereka tidak menatapku dengan aneh seolah-olah karena wajahku yang kusam, mata panda, berminyak, dan bruntusan. Begini-begini, aku masih mandi dan cuci muka dua kali sehari. Mereka masih mau tersenyum saat menyapaku. Aku senang akan hal itu, tapi ekspresi dan kata-kataku sepertinya selalu terdengar datar. Padahal dalam hati aku bersemangat membalas sapaan mereka.

“Selamat pagi, semuanya!” Suara Pak Reno yang mirip seperti perintah tentara memenuhi ruang kelas. Kemudian satu kelas membalas sapaan bapak gemuk itu. Pak Reno menggaruk kepalanya.

“Wali kelas kalian menitipkan beberapa informasi kepada saya. Pertama, bagi kalian yang masih ingin mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik masih dibuka hingga besok, kedua, akan ada rapat bagi para pengurus OSIS setelah jam istirahat siang.”

Beberapa anak bersorak karena ia dapat mengajukan izin untuk tidak hadir di dalam kelas setelah jam makan siang.

“Tenang, tenang! Saya belum selesai bicara,” Pak Reno berdehem, “terakhir, kamu, Deron Alven, dipanggil ke ruang kepala sekolah setelah jam istirahat siang.”

Aku terkejut bukan main. Aura kelas berubah menjadi penuh cibiran. Semua teman-teman yang lain berbisik sambil menatap ke arahku dengan aneh. Apakah mereka kaget jika aku yang selalu berdiam diri tiba-tiba dipanggil ke ruangan kepala sekolah?

Aku menelan ludah. “Baik, Pak,” kataku pelan.

“Sudah, tenang! Sekarang Bapak akan lanjutkan dengan materi kita hari ini.”

Beberapa orang yang duduk di dekatku masih berbisik-bisik. Memangnya aku melakukan apa? Aku tidak mendapat nilai yang sangat jelek, aku selalu memakai seragam dengan rapi, dan aku tidak pernah membuat ribut di kantin.

Kepalaku tak bisa berhenti bertanya-tanya hingga aku duduk berhadapan dengan Pak Bayu. Ternyata di sebelahnya juga duduk Bu Rita, guru BK, menatapku dengan tajam.

"Apakah ini kamu, Deron Alven?"

Pak Bayu menunjukkan rekaman CCTV kepadaku. Begitu melihatnya, aku baru teringat.

"Apakah benar kamu melakukan percobaan pembunuhan dua hari lalu?!"

Sungguh, ini adalah salah paham.

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now