12.1 The Bus

3 2 1
                                    

Selama dua tahun ia selalu sekelas denganku. Ditambah ia ternyata juga mengikuti bimbel dengan jadwal yang sama denganku. Aku menahan mulutku agar tidak mengutarakan perasaanku yang sebenarnya, karena aku takut ia tidak akan menatapku sama seperti sekarang. Tatapannya selalu ramah kepada semua orang dan ia selalu tersenyum manis, karena itu aku menyukainya.

Tapi setelah mendengar ia harus mengikuti bimbel, sebenarnya aku cukup kaget, karena biasanya ia selalu mendapat nilai tinggi di kelas. Namun aku tidak memperhatikan betul soal itu. Yang penting aku bisa menjadi lebih lama bersamanya.

Hari ini terasa lebih panjang daripada hari biasanya. Bimbel baru selesai jam sembilan malam. Biasanya, bimbel sudah selesai sejak jam tujuh tadi. Namun karena hari ini adalah giliran Bu Emily, maka ia tidak akan membiarkan satu murid bimbelnya pulang sebelum bisa menjawab pertanyaannya dengan benar. Meskipun ia adalah guru yang galak, anehnya aku lebih mengerti penjelasannya dibanding guru-guru yang lain.

Aku melirik jam tanganku, sudah pukul sembilan lewat lima menit. Bu Emily memperbolehkan kami pulang. Aku menghela napas lega.

“Wah.. Hari ini melelahkan sekali, ya?” Vieta bertanya sambil meregangkan badannya yang pegal karena duduk lebih dari tiga jam.

“Iya, sepertinya besok aku akan tidur seharian,” balasku sambil tertawa garing, diikuti dengan iringan tawanya menanggapi candaan ku.  Lihat, ia selalu tersenyum apapun keadaannya.

“Setelah ini, Josh langsung pulang ke rumah?” Sekumpulan kupu-kupu selalu beterbangan di perutku saat ia selalu menyebut lawan bicaranya dengan namanya langsung. Awalnya itu membuatku canggung, tapi lama-kelamaan ucapannya terdengar imut di telingaku.

“Iya. Aku biasa naik bus nomor 13 di halte samping sekolah.”

“Benarkah? Kalau begitu kita searah!”

“Tapi, kamu pernah bilang rumahmu tidak terletak di komplek sini.”

“Memang. Malam ini aku akan menginap di rumah sepupuku. Jadi, aku harus naik bus nomor 13 itu juga.”

“Ah, begitu, ya.” Aku bersorak dalam hati.

Aku dan Vieta sampai telah sampai di halte samping sekolah. Keadaan sekitar sangat sepi karena hari sudah malam. Paling hanya satu dua motor yang lewat. Semoga aku masih bisa pulang dengan jadwal bus terakhir, yaitu pukul sembilan lewat lima belas menit malam.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suara desingan bus terdengar dari kejauhan. Tapi setelah mendekat, tertulis nomor 13A pada bus itu. Aku belum pernah melihat bus bernomor 13A sebelumnya.

“Nomor 13A?” Vieta kebingungan.

“Em, mungkin arahnya sama dengan nomor 13. Kita naik ini saja, daripada menunggu bus lain, nanti keburu larut malam,” jelas ku meyakinkan perempuan itu.

Saat pintu bus terbuka dan lampunya menyala, ternyata masih ada dua-tiga penumpang di dalamnya. Tapi sepertinya aku merasakan sesuatu yang janggal di sini. Pintu bus pun tertutup dan bus berjalan.

“Vieta, duduk di sini saja.” Tanpa sadar aku menggenggam tangannya untuk mengajaknya duduk di sebelahku. Tadinya ia akan duduk di depan seorang bapak-bapak yang bajunya compang-camping. Supaya aman, aku mempersilahkan Vieta duduk di dekat jendela, dan aku di sebelahnya.

Vieta tersenyum kepadaku. Sepertinya wajahku memanas setelah melihat senyumnya itu. Selama bus berjalan, aku tidak membuka percakapan karena merasa sangat canggung. Mungkin Vieta juga merasa begitu, terlihat dari tangannya yang memainkan jemarinya agar tidak gugup.

Namun beberapa menit kemudian, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada kursi di belakang sopir. Aku mengucek mata untuk memastikan bahwa apa yang barusan kulihat bukanlah ilusi. Ternyata benar, bapak-bapak dengan baju compang-camping tadi tiba-tiba duduk di kursi belakang sopir. Padahal tadi ia duduk di deretan belakang bus.

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now