4.2 The Lantern of Hope

8 4 4
                                    

Kakiku terhenti saat mendengar sekelompok burung terbang di atas dan menimbulkan suara gesekan daun pepohonan. Aku mengedarkan pandangan. Gelap, lembab, dan pepohonan nya lebih lebat daripada yang ada di area perkemahan. Aku pasti berlari terlalu jauh.

Dimana aku?

Aku berjalan untuk mencari jalan pulang sambil memegangi lampionku yang tidak bisa terbang. Seharusnya tadi aku minta bantuan Bu Lucy saja untuk menambah api pada lampion ku. Aku terkulai lemas. Tidak ada seorang pun di sini.

Sreg! Terdengar bunyi dari pijakan kakiku.

Sepertinya aku tak sengaja menginjak sesuatu. Saat aku mengangkat kaki kananku, terlihat sesuatu yang menyala dalam kegelapan. Setelah dilihat lebih dekat, ternyata itu adalah kumbang yang menyala.

Aku berjongkok untuk memastikan apakah kumbang itu masih hidup atau tidak. Tapi niatku menciut karena aku takut jika sesuatu yang menyala di badannya beracun jika dipegang.

"Beraninya kau membunuh temanku!" Terdengar suara serak tiba-tiba yang membuatku kaget bukan main. Aku menguatkan kewaspadaan.

"Aku ada di belakangmu."

Aku langsung menoleh ke belakang dan benar saja, ada seorang nenek bungkuk yang berjalan dengan tongkat dan memakai baju hitam. Wajahnya kotor dan kusam, matanya menatap tajam ke arahku.

"A... aku tidak sengaja! Sungguh!"

"Kau membuat temanku sekarat!" Pelipisnya berkerut dan telunjuknya terarah kepadaku.

"Maafkan aku! Tapi sepertinya kumbang ini masih hi—"

Belum selesai aku bicara, tangannya terulur ke arah kumbang yang tak sengaja ku injak tadi. Ia mengangkat kumbang itu ke udara, dan membawanya ke arahnya. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia bisa mengontrol sesuatu dengan tangannya tanpa harus menyentuhnya!

Setelah kumbang tadi mendarat di telapak tangannya, ia merapatkan beberapa kata yang tak kumengerti. Lalu tiba-tiba kumbang itu berbalik dan kembali seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Kumbang itu bahkan bertambah lebih besar ukurannya.

“Apa itu yang ada di tanganmu?” Ia bertanya dengan senyum miring.

Aku melangkah mundur sambil menguatkan pegangan pada lampionku.

“Lucu sekali kau berharap pada lampu jelek itu.” Setelah berkata seperti itu, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berlari menjauhi nenek tua itu.

“Terlambat,” desisnya. Tiba-tiba tubuhku tidak bisa bergerak. Aku merasa sekujur tubuhku seperti telah dibekukan dalam es. Kakiku terangkat dengan sendirinya dan aku pun melayang di udara. Pada saat kulihat, ternyata ia menghentikan ku hanya dengan tangannya yang terulur.

Aku tak berdaya, semua bagian tubuhku mati rasa.

“Biar aku yang menyimpan lampu itu, hihihi…” Dalam sekejap lampionku terlepas dari genggamanku.

“JANGAN!!!”

Ia membakar lampion harapanku setelah ia mengambilnya dariku yang tak bisa melawan. Melihatnya dimakan oleh bara api biru dan berubah wujud menjadi abu membuat air mataku tumpah seketika.

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now