9.2 The Forest

4 2 3
                                    

Lututku seketika lemas dan tak bisa menopang berat badanku. Aku tergolek lemah di atas tanah dengan kalung anakku sendiri di tangan. Ada apa dengannya? Apakah ia mengunjungi ku ke sini? Tapi bagaimana ia tahu aku ada disini? Dimana dia?!

Jangan-jangan …

"MIYA!!!" Aku meneriakkan namanya ke seluruh sudut hutan.

Tidak ada jawaban. Aku bahkan bisa mendengar deru napas ku yang terengah-engah. Selama setengah jam aku mencari keberadaan Miya, tapi aku tak kunjung menemukannya. Atau jangan-jangan … aku terlambat lagi? Terlambat menyadari kepergian anakku sendiri?!!

Air mataku mengucur tanpa bisa ditahan lagi. Aku tak mampu membayangkan malaikat kecilku menginjakkan kaki di tempat ini.

Tiba-tiba muncul sebuah suara. "Pa …" Detik itu juga aku menoleh ke sumber suara.

"Miya!" Aku langsung berlari dan berniat ingin memeluknya. Namun saat hanya tinggal beberapa meter jarak ku dengannya, ia melangkah mundur.

"Miya … ini Papa. Papa rindu sekali denganmu, Nak."

"Tapi kenapa Papa tidak pernah kembali lagi? Apakah Papa pikir selama ini aku tidak merindukan Papa? Apakah Papa pernah memikirkan Mama setelah Papa pergi?" Suaranya terdengar menggema di telinga ku.

"Miya …" Tanganku bergetar mendengar setiap ucapan katanya.

"Papa pergi dengan memberikan janji. Tapi janji itu hanyalah kata-kata belaka. Papa bilang akan kembali setelah urusan pekerjaan di Kanada selesai. Tidak bisa dihubungi dan tidak ada kabar. Nyatanya, setelah sepuluh tahun Papa tidak pernah kembali."

"Entah apa yang Papa lakukan di sana. Mungkin menghamburkan uang dan melupakan aku dan Mama di sini." 

"Miya … maafkan Papa, Nak. Papa sebenarnya ingin kembali, tapi Papa diliputi rasa bersalah."

"Papa membuatku dan Mama dikucilkan semua orang. Daripada aku membuat malu nama keluarga, lebih baik aku pergi di sini."

"Miya jangan!!!"

Tiba-tiba sosok Miya menghilang. Wujudnya berubah seperti butir pasir putih yang sangat halus. Kumpulan pasir itu tertiup angin ke satu arah. Aku pun mengikuti arah pasir itu pergi. Kakiku berhenti melangkah saat melihat pasir itu menyatu dengan tubuh Miya yang tergantung di sebuah pohon.

"Miyaaa!!!"

Wajahnya pucat dan keluar darah yang menetes dari mulutnya.  Aku mendekati tubuh itu. Tangisku membelah penjuru hutan yang sunyi.

Ehhkk!!! Tanpa kusadari kedua tangan dingin Miya menyentuh leherku. Matanya terbuka dan air matanya berubah menjadi darah. Tatapannya memperlihatkan luka hati di sana. Urat lehernya timbul di kulitnya yang pucat.

"Mi … Miya …"

Jemari kurus itu semakin mengeratkan pegangannya pada leherku. Aku jadi teringat betapa eratnya pelukan Miya saat ia memperbolehkan ku pergi jauh untuk pertama kalinya.

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now