10.2 The Jar of Ocean

2 2 0
                                    

Aku memutuskan untuk menikmati senja bersama pasir pantai. Deburan ombak selalu terdengar seperti orkestra yang indah di telingaku. Air laut membasahi kakiku yang terkubur di dalam pasir. Aku memandangi langit jingga sambil memikirkan guci yang kemarin ku buang ke laut.

"Akh!" Aku bangkit dari duduk karena tiba-tiba ombak besar datang menjilat pinggir pantai. Aku tak mau pulang berakhir dengan baju basah kuyup.

Saat ombak itu kembali lagi, guci itu tergeletak di atas pasir. Ternyata ombak tadi membawa guci itu kembali! Aku tak menyangka. Artinya ini memang ditakdirkan untuk menjadi milikku.

Aku berlari dan mengambil guci itu. Masih utuh seluruhnya. Kerang dan mutiaranya masih lengkap sebagai dekorasi guci itu. Aku pun membawa guci itu dan duduk sedikit jauh dari bibir pantai agar tidak terkena hempasan ombak.

Sebenarnya apa isi dari guci ini? Saat aku goyangkan, tidak ada suara apapun di dalamnya, seolah ini hanyalah guci kosong. Tapi saat kuangkat, guci ini terbilang cukup berat. Aku mengetuk-ngetuk kain tebal yang menutupi mulut guci.

Apakah aku jual saja kalung mutiara yang ada di luarnya? Sudah lama aku tidak jalan-jalan ke pusat kota dengan Ayah. Tapi mungkin saja, ada lebih banyak perhiasan di dalam guci ini. Mungkin perhiasan itu ditimbun dengan pasir sehingga tidak terlalu basah dan tidak rusak saat terkena guncangan air laut.

Ayah, guci ini memang menjadi takdir kita. Setelah ini, aku akan memberikan semua yang Ayah mau,” ucapku dalam hati.

Tanganku berusaha membuka ikatan kencang pada kain putih gading itu. Setelah tiga menit berjuang, akhirnya tali itu terlepas. Aku pun membuka guci itu dan menengok ke dalamnya.

Kosong?!!

“Tidak mung—”

Ahh haa … haa… haaa…” Tiba-tiba hembusan angin keluar dari dalam guci kosong itu. Ditambah seperti ada suara nyanyian di dalam sana.

Aku melirik lagi ke dalam guci, namun tetap tidak ada apa-apa di sana. Malah suara nyanyian perempuan itu semakin kuat terdengar. Beberapa detik kemudian suaranya menjadi bertambah banyak. Tiba-tiba kepalaku pusing berputar tak terkendali.

***

Aku mengucek mata karena tidak percaya akan apa yang kulihat. Ada sebuah kotak perhiasan yang mengapung di laut! Aku langsung berlari ke arah situ yang jaraknya cukup jauh dengan bibir pantai. Aku menyelam ke dalam laut untuk mengambil kotak perhiasan itu.

“Wah, wajahnya cantik seperti Persephone.”

“Yang benar saja. Masih lebih cantik Persephone, kau tahu?”

“Mau cantik atau tidak, yang penting santapan kita sudah datang.”

“Ide Demeter selalu cemerlang, sihirnya sangat kuat.”

“Itu karena Demeter memang hebat. Ingat, dia adalah dewi, ia bisa melakukan apa saja yang ia mau. Sudahlah, lebih baik kita santap saja dia.”

***

Kesadaranku seketika hilang dan tiba-tiba kembali. Aku melihat keadaan sekitar.

Aku berada di tengah laut! Bagaimana caranya aku bisa ada di sini? Di mana kotak perhiasan yang kulihat tadi?

“Tolong!! Siapapun tolong!!”

Tiba-tiba sekelompok makhluk aneh terbang di atas ku. Mereka tampak seperti manusia setengah burung. Kemudian beberapa dari antara mereka bernyanyi. Tunggu … Suara itu persis seperti yang kudengar setelah membuka guci itu.

“Tolong a—”

Mulutku dibekap oleh cakar manusia setengah burung itu. Aku dibawa ke dalam laut dengan cengkraman mereka di bahu ku. Suhunya semakin dingin dan aku tidak kuat lagi. Perlahan-lahan, cahaya yang kulihat memudar. Lalu sekarang yang kulihat hanyalah kegelapan. Tubuhku sakit sekali, dan aku masih bisa merasakan darah yang mengalir menyatu dengan air laut. Kegelapan muncul menyambutku.

“Ayah, maafkan aku. Seharusnya aku mendengarkan perkataanmu.”

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now