10.1 The Jar of Ocean

4 3 0
                                    

Jam dinding yang menggantung di tembok anyaman bambu menunjukkan pukul tiga pagi. Sedetik kemudian kesadaran ku langsung terkumpul. Aku terlambat bangun. Biasanya jam setengah tiga pagi aku sudah menyiapkan perahu agar pada saat matahari terbit jam empat nanti aku dan Ayah bisa langsung menjaring ikan. Segera aku berlari ke luar rumah.

"Kau kelelahan?" Aku terpaku saat melihat Ayah yang ternyata sudah menyiapkan perahu.

"Maaf, Ayah."

"Ya sudah. Lebih baik kau siapkan sarapan saja." Aku mengangguk cepat.

Sarapan dengan menu seadanya sudah biasa buatku. Kalau bukan ikan goreng, ya ikan bakar. Kehidupan ku sejak umur sepuluh tahun sudah terbiasa dengan makanan laut. Meskipun pernah merasa bosan, aku tidak punya pilihan lain. Lagi pula ikan juga baik untuk kesehatan. Menurutku, waktu yang paling pas untuk makan ikan bakar adalah pada saat sore hari sambil duduk di teras rumah panggung ku. Melihat mentari terbenam sambil mendengar deburan ombak dan melahap ikan bakar selalu menjadi seperti terapi bagiku.

Setelah semua siap, aku ikut naik ke perahu bersama Ayah untuk mencari ikan. Angin laut terasa sejuk menyentuh kulitku. Ayah melempar jaring ke tengah laut. Aku menarik mesin kapal agar jaring dapat tersebar dengan sempurna. Setelah itu kami menunggu beberapa menit. Sambil menunggu aku memperhatikan matahari yang mulai menampakkan dirinya di balik awan.

Setelah lima belas menit terlewati, aku dan Ayah segera menarik jaring. Urat-urat di tanganku timbul karena jaring ini sangat berat. Aku menumpahkan semua ikan ke dalam perahu. Ikan-ikan itu menggelepar di darat. Aku bersorak karena hasil jaring hari ini cukup banyak. Dengan begitu aku bisa membawa banyak ikan untuk dijual ke pasar dan dikirimkan ke pusat kota. Ayah tersenyum lebar dan memberikan tos padaku.

Tapi ada sesuatu yang berbeda di balik ikan-ikan itu. Aku mengambil benda itu. Sebuah guci cantik. Tidak, guci ini sangat indah. Guci itu dihiasi dengan tali, kerang, dan bahkan kalung mutiara asli. Ukurannya cukup besar sehingga aku harus membawanya dengan dua tangan. Namun guci itu tertutup sebuah kain putih gading tebal sehingga aku tidak bisa melihat isi di dalamnya.

“Apa itu, Ethena?” Ayah bertanya setelah membereskan ikan ke dalam kotak.

“Tidak tahu, Ayah. Sepertinya guci ini terbawa saat kita menjaring ikan tadi.”

“Buang.” Tunggu, apa?

“Memangnya kenapa, Ayah? Siapa tahu ini memang barang buangan dan sekarang ini menjadi milik kita.”

“Lemparkan itu ke laut, Ethena. Itu bukan milik kita.”

“Lihat, ini kalung mutiara asli, Ayah. Aku sangat menyukainya,” aku memohon.

“Buang—”

“Aku menyukai mutiara ini seperti Ibu yang selalu menyukai perhiasan dari laut.”

Ayah menghela napas berat, ia mendelikkan mata berusaha mencari kata-kata yang tepat. Terbit sedikit rasa bersalah karena aku membawa nama Ibu.

“Dengar, Ethena. Guci itu bisa saja menjadi barang buangan dan takdir mengatakan bahwa sekarang benda itu milik kita. Tapi maukah kau menyimpan kotak pandora? Lebih baik kembalikan itu ke laut sekarang.”

Kotak pandora? Apa itu? Lagi pula ini guci, bukan sebuah kotak.

Ayah mendecakkan lidah sambil berkacak pinggang. Ia menatapku tajam. Baiklah aku mengalah. Aku mengembalikan guci itu ke laut.

The Untold Secretober (End✅)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt