5.1 The Calvin Boutique

4 2 0
                                    

Pusat kota adalah tempat paling meriah yang pernah kulihat. Pertokoan dimana-mana, kafe-kafe modern, dan pusat perbelanjaan yang megah adalah hal yang sepertinya sayang dilewatkan oleh anak muda. Saat siang hari banyak orang menggunakan setelan baju yang paling keren hanya untuk membeli segelas kopi. Saat malam hari tiba, lebih banyak orang lagi datang untuk berbelanja dan menghabiskan uang mereka. 

Andaikan aku bisa menjadi salah satu diantara mereka. 

Sebenarnya aku bisa saja melakukan apa yang kumau dengan upahku sebagai karyawan butik di pusat kota. Begitu mendengar tentang gaji yang mereka tawarkan dengan angka yang tak sedikit, aku langsung mengirimkan lamaran dan ajaibnya aku pun langsung diterima saat diwawancara. Jika ku kumpulkan upahku selama dua bulan, aku bisa membeli tas mahal yang sudah ku idam-idamkan sejak lama. 

Jika saja tidak ada orang lain yang bergantung padaku. Kalau saja Ayah tidak bermain judi, aku tidak akan melarat dan memberikan sebagian besar upahku hanya untuk melunasi hutangnya!

Selama dua minggu aku bekerja di butik, aku menyadari apa yang membuat semua karyawan digaji tinggi. Secara tidak langsung aku dan karyawan lainnya diberi satu syarat, yakni aku harus memakai baju seragam yang dirancang sendiri oleh pemilik butik ini. Kedengarannya memang tidak aneh, bukan? Tapi pada saat aku menerima seragam yang akan kupakai di hari pertamaku bekerja, aku seakan bisa melihat prediksi bencana dalam hidupku.

Celana panjang ketat, baju tanpa lengan yang terbuka, sepatu hak tinggi, dan bahkan semua karyawan diperintah untuk menggunakan hip pads. Menurut Boss Charles, pemilik butik ini dan kami disuruh untuk memanggilnya dengan sebutan seperti itu, baju rancangannya lah yang menjadi kunci agar butik ini bisa selalu ramai pengunjung. Dan memang apa yang dikatakannya adalah benar. Terlebih butik ini kebanyakan menjual tuxedo dan jas, sedangkan baju wanita hanya mendapat sebagian kecil dari luas tempat bagian pakaian laki-laki. 

“Hei, wajahmu pucat sekali. Ada apa, Laura?” Ucapan Helen membuyarkan lamunanku. 

“Ah, tidak,” jawabku lesu. 

“Kau harus memakai bedak lagi, atau bos akan marah jika ia melihatmu begini.” 

“Tidakkah kau lelah dengan ini semua?  Tapi aku tidak bisa mencari pekerjaan lain jika aku resign.” Aku menghela napas berat sambil menatap Helen membuat kopi. Sekarang adalah jam istirahat sore giliranku, Helen, dan Sofia. Maka dari itu aku langsung mencopot high heels dan merebahkan diri di sofa pantry. 

“Kita semua juga lelah, Laura. Tapi gaji kita tidak main-main, kau tahu? Sudah berapa kali aku bilang ini kepadamu,” timpal Sofia. 

“Tapi itu sama saja karena aku harus menggunakan gajiku untuk membayar hutang!” 

“Aku juga harus membiayai sekolah adikku dengan gajiku. Kita semua menderita di sini!”

“Oh ya, jangan lupa hari ini adalah hari Jumat. Biasanya bos akan memanggil salah satu diantara kita untuk ke ruangannya.” Aku bergidik karena perkataan Sofia. 

“Benarkah??”

“Ya! itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupmu. Tapi biasanya tidak setiap minggu dia seperti itu. Semoga saja ia pulang setelah butik tutup,” tambah Helen. 

“Apakah kau pernah dipanggil, Helen?” tanyaku sambil memasang wajah serius. 

“Pernah, dua bulan yang lalu.” 

“Memangnya bos berbicara apa denganmu?” 

“Sudah kubilang itu adalah mimpi terburuk dalam hidupmu!”

The Untold Secretober (End✅)Where stories live. Discover now