1

989 80 12
                                    

WARNING

Karya ini hanyalah fiksi belaka dan tidak ada hubungannya dengan beberapa hal di dunia nyata. Semua yang terjadi, adalah improvisasi dari penulis demi kepentingan alur
.
.
.

Bundaran HI menjadi tempat di mana semua orang berkumpul untuk merayakan pesta tahun baru. Biasanya pertunjukkan kembang api akan dipentaskan tepat pukul 00.00 waktu setempat.

Nawasena, salah satu dari sekian pengunjung yang ada di sana. Berdiri di dekat sebuah gerobak siomay bersama sang Sahabat, Cetta. Keduanya asyik, menikmati jajanan tersebut sambil duduk di bangku plastik milik si Mamang Siomay.

"Lo senang tinggal di Jakarta?" tanya Cetta di sela-sela makan.

"Senang," sahut Nawasena datar. "Apalagi kalau dapat makanan gratis."

Cetta terkekeh, sembari menepuk bahu Nawasena tuk memberi semangat. "Moga lo betah di sini. Lagipula, balik ke Merauke juga masih lama. Hansamu bakal cari masalah lagi sama lo."

Seketika, raut wajah Nawasena mendadak kesal. "Gue enggak suka bahas anak itu. Lo tahu, 'kan? Gue enggak suka sama Hansamu."

Tawa Cetta makin keras mengingat watak Hansamu. Mereka bertiga sudah saling kenal sejak duduk di bangku SMP. Hanya saja, Nawasena dan Hansamu sudah saling mengenal jauh sebelum mengenal Cetta.

Kehadiran Nawasena di Jakarta, semata-mata demi memenuhi undangan sang Sahabat dan keluarganya tuk berlibur dan menghabiskan tahun baru bersama. Sejak kecil, Nawasena sudah ditinggal kedua orangtuanya. Kakak laki-lakinya yang tertua pergi berkerja entah di mana. Dia hanya menitipkan Nawasena pada kerabat jauh mereka. Dengan pasongan setiap bulan tuk membantu biaya hidup Nawasena. Sesekali, laki-laki itu akan muncul menengok Nawasena dan pergi kembali.

Selepas jajanan siomay mereka habis. Cetta mengajak Nawasena untuk menikmati es goreng yang kebetulan gerobaknya tidak jauh dari pedagang siomay.

Hikuk pikuk keramaian yang begitu padat. Mendadak dikejutkan oleh bunyi gemuruh dari langit dan sambaran petir yang memekakkan telinga. Sesaat, keadaan menjadi hening oleh teriakan spontan beberapa orang yang tersentak. Setelahnya, semua berangsur seperti biasa. Tanpa tahu, di beberapa tempat di wilayah Indonesia juga mengalami hal yang serupa.

Gunung Krakatau, Semeru, Bromo, Merapi, Tangkubang Perahu, Kalimutu hingga Tambora. Mendadak disambar puluhan petir yang sampai menghantam tanah. Menyebabkan, lempengan bumi sedikit bergetar. Kawasan penduduk yang berada tidak jauh dari gunung-gunung tersebut pun berlarian keluar rumah. Panik oleh dentuman dan lapisan bumi yang bergerak dari bawah.

Ahli badan meteorologi dan geofisika pun mencatat fenomena itu. Sirine peringatan dari pos-pos pengawasan dari gunung-gunung tersebut seketika berbunyi nyaring. Sesuatu terlihat mengepul dari puncak kawah dan membumbung ke langit malam.

"Nawa? Lo kenapa?" tanya Cetta yang khawatir dengan perubahan wajah Nawasena.

"Perasaan gue mendadak enggak enak."

"Dih, lo jangan ngomong gitu dong. Kalimat lo itu selalu bawa petaka."

"Gue serius." Nawasena menegaskan. "Gue merasa, sebentar lagi ada hal buruk yang akan terjadi."

Cetta melirik sekilas di sekitar mereka. Memperhatikan lalu lalang manusia. Ada sepasang kekasih yang berjalan dengan memakan gula-gula kapas, sekelompok pasturi bersama buah hati mereka dan rombongan bocah-bocah kematian yang saling selfie setiap saat.

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now