9

147 27 5
                                    

"Lari lebih cepat!"

"Lakukan dengan benar!"

"Masih sisa 10x push up!"

Empat hari setelah Nawasena sepakat untuk diajari Magma. Empat hari itu pula, ia menderita dengan penuh tekanan batin.

Magma sudah mengatur jadwal latihan Nawasena. Dia harus berlari, push-up, sit- up, dan squat. Masing-masing harus dilakukan 50x dalam sehari. Sungguh aneh, dia dilatih oleh seorang bocah kematian. Tetapi, Nawasena bisa apa. Bocah itu terlihat lebih tahu dan memahami apa yang terjadi.

Dibandingkan dengan tubuhnya yang seperti anak-anak. Perilaku Magma mirip orang dewasa yang telah memakan asam garam kehidupan.

Sejak kasus kemarin. Nawasena dilarang untuk keluar dari Master Cafe apa pun alasannya. Semua ini dilakukan demi menyembunyikan Nawasena dari para Senopati. Lagipula, kondisi mental pria tersebut masih mudah goyah kapan saja.

"Sampai kapan gue harus latihan harian seperti ini?" Akhirnya, Nawasena menyelesaikan push-up setelah mencapai 50x. Tubuhnya roboh, kelelahan sampai tidak ingin bangun dari atas tanah.

"Hal pertama untuk menguji kemampuan adalah ketahanan diri," seru Magma sambil menyeruput susu kotak kemasan. "Tubuh lembek begitu bagaimana bisa bertarung dengan Ahool. Setelah otot-otot tubuh Kakak diasah, kita akan pindah ke tahap selanjutnya."

Nawasena hanya mendengus kesal. Dia terlalu malas untuk meladeni Magma. Namun, karena sesi latihan itu sudah usai. Mereka pun membubarkan diri.

...

Hari-hari di Master Cafe berjalan seperti biasa. Setiap pengunjung yang datang, selalu membawa kabar dan perkembangan terbaru dari kebangkitan abad kekosongan.

Dari satu meja ke meja lain, Nawasena sibuk mengantar pesanan. Dari sekian musibah yang menimpanya, Nawasena bersyukur. Dia tidak hidup terlunta-lunta di Jakarta. Agha memberikannya tempat tinggal dan sebuah pekerjaan.

Di dapur, dia menyempatkan diri menatap Agha yang sedang memotong daun bawang di talenan. Nawasena sadar, suatu hari ia harus membalas hutang budi ini.

Mendadak, Arya meletakkan pesanan berikutnya di atas nampan yang dipegang Nawasena, lamunan pria itu pun buyar dalam seketika.

"Jangan melamun." Arya menegur. Nawasena hanya tersenyum dan mengganguk. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Dua buah mangkok mie ayam, ia antarkan pada meja yang ditempati dua wanita muda.

Saat hendak berbalik, bel dibalik pintu berdenting. Ada segerombolan pria berpakaian kasual masuk dengan membawa aura keberadaan yang begitu kuat.

Suasana yang awalnya cukup ramai dengan suara orang bercakap-cakap. Kini menjadi hening. Raut wajah terkejut hampir mendominasi setiap pengunjung. 

Walau masih amatiran menjadi Anomali. Nawasena juga bisa merasakan, ada aura yang mencekam dan menyesakkan. Dia merasa, kadar oksigen di tempat tersebut perlahan-lahan berkurang.

"Apa masih ada meja kosong di sini?" Salah satu pria, dengan rambut di klimis ke belakang, bertanya pada Nawasena yang mematung.

Pria ini tidak serta - merta menjawab.
Tangan kanannya bergerak perlahan menyentuh dada kiri dan merenggut pakaian yang ia gunakan.

Ada sensasi ketakutan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Rasa takut atas sebuah kematian yang sedang mengawasi.

"Yudha," sapa Agha dari balik punggung Nawasena. Pemuda itu menoleh menatap Agha. "Ada gerangan apa Senopati dan prajuritnya mampir ke sini?"

Nawasena mengernyit, menatap Agha dan Yudha silih berganti.

"Kami ingin makan. Lo punya tempat?" tanya Yudha sambil melirik sekitar. Sekilas mata memandang, memang tidak ada tempat tersisa untuk anggotanya. Tempat makan Anomali lainnya berada cukup jauh dari sana. 

The Heroes Bhayangkara Kde žijí příběhy. Začni objevovat